MAKASSAR - Sejumlah pengrajin usaha tempe dan tahu mengeluhkan kembali kenaikan harga kedelai secara drastis sehingga harus berpikir keras untuk mengurangi jumlah produksinya di tengah masa pandemi Coronavirus Disease (COVID-19).
"Setengah mati orang sekarang cari kedelai, mahal sekali. Harganya sampai Rp11.300 per kilogram sekarang. Kenaikannya habis Lebaran," ungkap pengrajin tempe-tahu, Harun Wibisana, di pabriknya, Kelurahan Karang Anyer, Kecamatan Mamajang, Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa 02 Juni.
Ia menuturkan, harga kedelai sebelum pandemi dilepas pemasok antara Rp7.000-Rp7.500 per kilogram. Namun, sejak merebaknya virus corona, harga kedelai terus mengalami kenaikan hingga saat ini antara Rp2.000-Rp3.800 per kilogram.
Selain itu, pihaknya mulai curiga kenaikkan harga kedelai tidak dibarengi dengan pengendalian serta pengawasan pemerintah sejak awal 2021. Dampaknya, stok bahan kedelai terus berkurang, di sisi lain permintaan terus meningkat.
"Saya tidak tahu (penyebab harga naik), cuma dia bilang (pemasok) kepada saya, pesanan untuk stoknya kurang," bebernya.
Bahan baku kedelai diimpor dari luar negeri
Ditanyakan selama ini bahan baku kedelai diperoleh dari mana, kata dia, diimpor dari luar negeri, sebab untuk stok kedelai lokal di Indonesia jumlahnya sangat terbatas untuk memenuhi permintaan.
Harun mengemukakan, untuk mensiasati itu, pihaknya tentu mengurangi produksi dan menaikkan harga sesuai dengan biaya produksi agar bisa mendapatkan keuntungan sebagai pembuat tempe dan tahu.
Harga untuk satu cetakan talang tempe dan tahu, kata dia sebelum pandemi Rp35 ribu per talang dengan jumlah produksi sebanyak seratusan buah, disesuaikan harga kedelai. Tetapi seiring dengan naiknya harga kedelai, tentu mengikuti harga pasar.
"Mau tidak mau harga ikut naik. Sekarang sudah Rp43 ribu per cetakan talang, sebelumnya Rp40 ribu per talang di kondisi pandemi. Kami hanya melayani pembeli yang mau dibikinkan, kalau tidak mau, tidak dibikinkan, sesuai permintaan saja," ucap dia.
Dengan kenaikan harga kedelai impor ditambah stoknya berkurang, lanjut Harun, maka produksi ikut menurun. Belum lagi stok kedelai lokal sangat jarang ditemukan, kalaupun ada kualitasnya tidak sebagus kedelai impor. Selain itu, tidak semua daerah memiliki distributor langsung.
Imbas dari kenaikan itu, tambah dia, juga mulai terasa, beberapa pengrajin tahu dan tempe mulai menutup pabriknya karena sudah tidak berimbang biaya produksi dan ketersediaan bahan baku dengan keuntungan.
"Setengah mati usaha kalau begini terus. Kalau pun terpaksa tutup kita mau makan apa juga, makanya harga dinaikkan. Harga kedelai saat ini juga sangat menyusahkan kita," ucapnya lirih.
Para pengrajin tempe dan tahu dikawasan itu berharap, pemerintah segera turun tangan mengatasi persoalan yang terus berlarut-larut tersebut tanpa ada solusi. Apalagi terdengar kabar Tempe akan didaftarkan sebagai warisan kuliner budaya di UNESCO oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno.
BACA JUGA:
Ikuti info dan berita lainnya hanya di VOI, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!