MAKASSAR - Eks Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah angkat bicara mengenai tak lolosnya sejumlah pegawai komisi antirasuah sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), karena gagal dalam asesmen tes wawasan kebangsaan.
Pegiat antikorupsi ini menjelaskan, koleganya yang ada di KPK harusnya tak perlu lagi dipertanyakan wawasan kebangsaannya. Menurutnya, koruptorlah yang tidak memiliki wawasan kebangsaan karena mengeksploitasi negara dengan tindakannya.
BACA JUGA:
"Yg tdk berwawasan kebangsaan itu ya KORUPTOR, bukan pemburu koruptor," katanya seperti dikutip dalam Twitternya @febridiansyah yang dikutip Rabu, 5 Mei.
Febri menegaskan, koleganya di KPK selama ini selalu berjuang untuk melakukan perlawanan terhadap koruptor. Apalagi, para pelaku tindak rasuah selama ini mencuri hak rakyat.
"Negeri ini dieksploitasi. Dihisap. Hak rakyat dicuri. Wawasan kebangsaan spt apa yg dimiliki koruptor?" tanyanya.
Hanya saja, usaha tersebut terkesan tak cukup karena para pegawai KPK yang melawan koruptor justru disingkirkan lewat sebuah tes dan hal ini dipertanyakan Febri. "Mereka yg teguh melawan korupsi justru disingkirkan dg alasan tdk lulus tes wawasan kebangsaan? Logika," tegasnya.
Pembusukan upaya pemberantasan korupsi
Lebih lanjut, dalam sebuah utas yang ditulisnya, dia menyebut upaya menyingkirkan pegawai KPK yang bersih dan kini sedang berjuang membongkar skandal korupsi adalah pembusukan upaya pemberantasan korupsi. Hal ini, sambung Febri, juga akibat dari UU KPK Nomor 19 Tahun 2019.
"KPK tmpak tumbuh dengan kontroversi dan minim prestasi," ungkapnya.
Febri menyinggung, ada sejumlah kasus besar yang saat ini tengah ditangani oleh para penyidik yang terancam dipecat karena tak lolos asesmen tes wawasan kebangsaan. Kasus ini adalah dugaan suap bantuan sosial (bansos) COVID-19, suap izin ekspor benur atau benih lobster di Kementerian Kelautan dan Perikanan, hingga kasus dugaan korupsi di Tanjungbalai.
Bukan hanya itu saja, dia menyebut penyidik yang terancam dipecat ini juga pernah berhasil menangkap Ketua DPR RI Setya Novanto dalam kasus megakorupsi e-KTP. Hanya saja, bukan mendapat apresiasi, mereka justru diserang dengan stempel Taliban dan radikal.
"Lebih konyol lagi, mereka distempel Taliban dan Radikal. Narasi yg jg dgunakan untuk menyerang lawan2 politik dan melegitimasi proses Revisi UU KPK. Oleh orang2 dan robot yg sama," katanya.
Sayangnya, meski berkali dibantah isu ini namun masih banyak orang yang terjebak dan mendukung revisi UU KPK. Sehingga, Febri meminta semua pihak melihat akibat dari revisi perundangan tersebut.
"Sekarang lihatlah, bagaimana kondisi KPK pasca revisi dan kinerja KPK dari proses pemilihan Pimpinan KPK yg kontroversial," ujarnya.
Artikel ini telah tayang sebelumnya di VOI.id, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!