MAKASSAR - Seorang nenek berusia 95 tahun bernama Mbah Asri di Desa Muruy Kecamatan Menes Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten kini menjaga dan merawat makam korban letusan Gunung Krakatau tahun 1883 yang saat itu menimbulkan gelombang tsunami.
Korban jiwa yang diakibatkan bencana letusan Gunung Krakatau pada masa itu berjumlah sekitar 36 ribu warga pesisir Pantai Banten dan Lampung.
Gelombang pengungsi pascabencana letusan Gunung Krakatau itu untuk wilayah pantai Carita dan Labuan tersebar di Kecamatan Menes dan Kecamatan Jiput, karena lokasinya tidak begitu berjauhan. Ribuan pengungsi itu mereka kondisinya mengalami luka-luka, sakit hingga kerawanan pangan.
Abu vulkanik dari bencana dahsyat letusan Gunung Krakatau itu pun sampai ke Benua Eropa. Bencana Gunung Krakatau itu juga mengakibatkan banyak korban meninggal dunia di lokasi pengungsian di Desa Muruy Kecamatan Menes yang menjadi bukti sejarah.
Puluhan orang meninggal
Kawasan pemakaman korban letusan Gunung Krakatau hingga saat ini masih utuh yang ditandai dengan bebatuan. Diperkirakan puluhan orang meninggal pada saat itu di Desa Muruy dan kebanyakan warga Caringin, Labuan.
Pemakaman korban letusan Gunung Krakatau sudah jarang bahkan tidak pernah lagi dikunjungi sanak keluarganya untuk berziarah baik saat Ramadan maupun menjelang Idulfitri.
"Kami setiap hari membersihkan dan merawat makam korban Gunung Krakatau dengan menyapu," kata Mbah Asri di Pandeglang dilansir dari Antara, Selasa, 26 April.
Mbah Asri warga asli Muruy mengurus dan merawat makam seluas 1.000 meter persegi itu kebanyakan korban Gunung Krakatau juga sebagian lainnya warga setempat. Merawat dan menjaga pemakaman itu dengan ikhlas tanpa imbalan, karena merupakan bagian sejarah.
"Letusan Gunung Krakatau cukup dahsyat dan jangan sampai kembali terjadi bencana," katanya.