DOP Rp1.000 Triliun Belum Berpengaruh Signifikan bagi Rakyat Papua, Pansus: Apa yang Salah?
Anggota DPR RI Guspardi Gaus. (Foto: Antara)

Bagikan:

MAKASSAR - Komisi II DPR menjelaskan dana pemerintah pusat yang dialirkan untuk Papua belum berpengaruh signifikan dalam berbagai sektor guna meningkatkan kesejahteraan dan mengatasi kesenjangan di bumi cenderawasih.

Anggota Panitia Khusus (Pansus) Otsus Papua Guspardi Gaus, mengungkapkan dalam kunjungan Pansus ke Papua dan Papua Barat, Senin, 3 Mei lalu, didapatkan informasi bahwa dana otsus salah kelola dan pengelolaan keuangan terjadi tarik menarik kepentingan di antara elite-elite Papua sendiri. Informasi ini berdasarkan disertasi Rafael Kapura yang dikutip Firman Noor dari pusat penelitian politik LIPI.

Menurut disertasi tersebut, persoalan lainnya ialah perilaku kepala-kepala daerah di Papua yang sulit ditemui, malah justru lebih banyak sekitar 60 persen ada di Jakarta.

"Ini memperlihatkan bahwa kompleksitas persoalan di Papua telah melibatkan pemerintah daerah itu sendiri," ujar Guspardi, Senin, 31 Mei.

Anggota Komisi II DPR ini setuju dengan pendapat bahwa jangan memaknai otsus papua sekedar faktor uang. Karena dana yang telah disalurkan untuk otsus Papua 2002-2021 mencapai Rp138,65 Triliun. 

Anggaran Rp953 triliun untuk pembangunan Papua

Selain itu juga digelontorkan anggaran Rp953 triliun untuk pembangunan Papua dan Papua Barat, dengan rincian dana transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) sebesar Rp 702,3 triliun dari 2005-2021 dan belanja kementrian /lembaga priode yang sama  Rp251,29 triliun. 

"Artinya sudah lebih Rp1.000 triliun dana dikucurkan dari berbagai sumber dana. Tetapi kenyataannya belum berhasil menciptakan percepatan pembangunan papua dalam berbagai sektor," kata Guspardi.

Politisi PAN ini juga menyoroti data yang disampaikan Bappenas, dimana masih sangat minimnya alokasi dana pemprov dalam dua sektor. Di sektor pendidikan Papua baru mencapai 4,28 persen dan Papua Barat 3,52 persen. Kemudian, sektor kesehatan Papua baru mencapai 7,43 persen dan Papua Barat 2,56 persen. Sementara, di dalam UU sudah diamanatkan alokasi belanja pendidikan 30 persen dan kesehatan 15 persen.

"Jadi wajar Indek Pembangunan Manusia (IPM) Papua masih rendah karena alokasi dana untuk pendidikan dan kesehatan masih sangat minim. Seharusnya pemerintah melakukan supervisi dan pendampingan agar pemerintah daerah dapat maksimal dalam merealisasikan dana di bidang pendidikan dan kesehatan," tegas Guspardi.

Selain itu, lanjutnya, menyoal Dana Insentif Daerah (DID) yang telah di sediakan pemerintah seakan sia-sia dan belum dimanfaatkan oleh Kabupaten Kota di Papua. Ternyata 22 Kabupaten di Papua dan 4 Kabupaten di Papua Barat  belum menerima Dana Insentif Daerah (DID) tersebut. 

"Ini bukan belum optimal tetapi masih jauh dari memenuhi syarat. Apa yang salah dengan ini?" tanya Guspardi.

Legislator asal Sumatera Barat itu juga mengkritik kinerja pengelolaan dana otsus Papua yang masih buruk dan bermasalah. Sebab data dari Bappenas menyatakan 51,7 persen Kabupaten Kota di Papua mendapatkan opini disclaimer dan adverse.  

"Ini tentu suatu yang miris. Harusnya ada pendampingan dan supervisi dari pemerintah pusat agar transparansi dan akuntabilitas tata kelola dana dapat berjalan sebagaimana mestinya," jelas dia.

Karena itu, Guspardi menilai pemerintah penting untuk mengidentifikasi dan menyelaraskan kebutuhan riil masyarakat Papua. Serta memberikan perhatian pada hak dan harga diri orang asli Papua (OAP) yang terpinggirkan dengan menyiapkan grand design komprehensif dan terintegrasi. Begitu juga reformasi tata kelola dana otonomi khusus dengan sistim pengawasan yang terpadu. 

"Otsus Papua hendaknya dapat mempercepat pembangunan, meningkatkan kesejahteraan dan masyarakat Papua bisa mengejar ketertinggalan dalam berbagai hal. Sebagaimana yang diharapkan dan didambakan rakyat di bumi cenderawasih itu," pungkas anggota Baleg DPR RI itu.

Artikel ini pernah tayang sebelumnya di VOI, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!