Makassar—Penyintas COVID-19 Mardiana Makmun, menceritakan pengalamannya menjalankan isolasi mandiri saat terinfeksi COVID-19. Dia terkonfirmasi positif COVID-19 pada 26 Januari 2021 dari klaster keluarga.
Padahal kata dia, enam hari sebelum melakukan tes swab PCR dirinya sempat melakukan tes antigen dan hasilnya negatif. Namun, satu hari setelahnya dia mengalami gejala bersin-bersin, sehari kemudian kepalanya terasa sakit, dan dua hari selanjutnya samar-samar tak bisa mencium bau atau anosmia.
BACA JUGA:
"Jadi, akhirnya tes PCR dan besoknya hasilnya positif. Ketika positif awalnya biasa saja, yang enggak biasa karena gak bisa kemana-mana. Gak bisa ke warung beli sembako, sementara di rumah tidak ada pembantu, tapi kalau memaksakan untuk keluar kasihan orang lain meski kita pakai masker ada resiko tertular," ujar Mardiana dalam diskusi daring bertajuk "Pengalaman Isoman: Perlu Antivirus Gak Sih?", Sabtu, 31 Juli.
Karena keterbatasan aktivitas, lanjutnya, Mardiana terpaksa melapor ke RT dengan harapan mendapatkan pasokan makanan.
Selama mengidap COVID-19, Nana, sapaannya, mengaku mengalami gejala berat hanya satu minggu. Meliputi sakit kepala, bersin-bersin tanpa disertai sesak napas. Meskipun ia memiliki riwayat penyakit asma.
"Alhamdulillah gak sesak napas dan gak kambuh asmanya. Selama itu aktivitas biasa saja tetap masak, tetap kerja di rumah buat happy," ungkapnya.
Karena waktu itu prinsipnya COVID-19 adalah virus, jelas Nana, jadi merasa tidak memerlukan antivirus. Hanya mengandalkan imunitas tubuh dari rasa senang dan makanan yang sehat, seperti sayur dan buah-buahan.
"Selama sakit hanya minum obat flu di warung. Kalau konsumsi vitamin sudah cukup ada B kompleks, vitamin ABC, yang ditambah hanya zinc. Jadi hanya mengandalkan suplemen saja," jelasnya.
"Makanan 5 kali sehari. Karena protein buah, sayur sudah cukup. Jadi 5 kali dalam sehari dari jam 7, jam 10, jam 12, jam 6 malam setiap konsumsi selalu ada protein dan buah," demikian Nana.
Keunikan sistem kekebalan tubuh manusia
CEO Pharmacare Consulting, Julian Afferino, menjelaskan, sistem kekebalan tubuh manusia memang unik. Sehingga saat terpapar COVID-19, ada yang mengalami gejala berat dan juga ada yang sama sekali tidak memiliki gejala apa-apa atau ringan.
"Tentu ini berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh. Banyak faktor yang mempengaruhi, seperti life style, konsumsi makanan sehingga menghasilkan satu respon antibodi yg cukup menetralisir virus COVID-19," kata Julian pada kesempatan yang sama.
"Tapi, ada juga orang dengan respon antibodi tidak memadai dengan virus COVID-19 tersebut, sehingga mengalami gejala berat, dan tidak sama bagi setiap orang. Karenanya kita memerlukan parameter laboratorium," sambungnya.
Lalu, di mana bahaya COVID-19 sedangkan virus dengan air sabun saja bisa mati, atau ganas ketika menginfeksi manusia?
Julian menjelaskan, bahwa COVID-19 merupakan molekul linoleic acid yang cukup sederhana dan tak begitu kuat. Pasalnya, virus SARS-CoV-2 itu terkena antiseptik saja bisa mati.
"Tapi dia punya kemampuan luar biasa ketika mengalami mutasi-mutasi yang menyebabkan kecepatan menginfeksi berlipat ganda, sehingga kemampuan sistem imun mengikuti kecepatan replikasi virus. Akibatnya inflamasi," kata Julian.
Namun, kebanyakan kasus gagal menghadapi inflamasi yang ditimbulkan infeksi tersebut. Sehingga, kekebalan tubuh tak agresif sehingga menimbulkan badai sitokin.
Artikel ini pernah tayang sebelumnya di VOI, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!