MAKASSAR - Pada era ini, semakin banyak orang yang menaruh minat pada gaya hidup minimalis. Tren itu meningkat berkat popularitas Marie Kondo dengan metode KonMarinya. Lantas apa itu sebenarnya minimalisme? Apa benar bisa menambah rasa senang?
Seperti disarikan dalam buku Marie Kondo berjudul The Life-Changing Magic of Tidying Up: The Japanese Art of Decluttering and Organizing, gaya hidup minimalis lebih mengutamakan meningkatkan pengalaman daripada hanya materi.
BACA JUGA:
Misalnya, membaca buku, menonton film dokumenter, membaca majalah gaya hidup, seraya mengurangi pekerjaan, komunikasi, informasi dan kompetisi.
Marie Kondo sendiri mengamalkan gaya hidup minimalisnya dalam metode KonMari. Sesuai dengan namanya, metode KonMari mengamalkan nilai-nilai Jepang dan dirancang agar penganutnya mencukupi diri dengan barang-barang dan aktivitas yang lebih diperlukan.
Rick Hanson seorang psikolog yang terlibat dalam film dokumenter yang mengangkat tentang gaya hidup minimalis berjudul Minimalism: A Documentary About the Important Things beranggapan bahwa banyak orang yang menganggap materi sebagai sumber kebahagiaan dalam hidup.
"Saya pikir kita bingung tentang apa yang akan membuat kita bahagia. Banyak orang berpikir bahwa harta benda menjadi hal paling utama dan mereka berharap bahwa setiap rasa senang yang muncul atas itu dianggap sebagai kepuasan hidup," katanya.
Namun beberapa penelitian membantah anggapan besar tersebut. Penelitian Mario Pandelaere dari Universitas Ghent misalnya, dikutip psychologytoday.com, studi itu berusaha mengungkap hubungan antara materialisme dan depresi.
Lebih lanjut, Pandelaere mengungkapkan bahwa "materialis" rata-rata bukan orang yang paling bahagia. Bahkan, Rik Pieters dari Tilburg University mengungkapkan adanya hubungan antara materialisme dan meningkatnya rasa kesepian dari waktu ke waktu. Selain itu dalam penelitian tersebut juga membuktikan adanya korelasi antara materialisme dan kesepian juga depresi.
Gaya Hidup Minimalis sebagai Perlawanan
Sementara itu, gaya hidup minimalis hadir dengan gagasan melawan atau setidaknya mengurangi paradigma materialisme dan konsumerisme untuk melawan depresi. Para peneliti yang sudah dijelaskan sebelumnya, menggambarkan konsumsi berlebih seperti rasa lapar yang tak pernah terpuaskan.
Sedangkan masih menurut psychologytoday.com, apabila orang-orang meninggalkan perilaku materialisme berlebihan dan hanya memberi tempat untuk barang-barang yang lebih bisa menambah nilai, "mereka dapat menjalani hidup yang lebih memuaskan."
Artikel ini pernah tayang sebelumnya di VOI, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!