MAKASSAR - Direktur Pengaturan Pengawasan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) Haendra Subekti menjelaskan, pengembangan energi nuklir untuk kelistrikan bergantung pada kebijakan presiden dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) jangka panjang sudah ada.
"Kalau sekarang pembangkit tenaga listrik di Indonesia masih banyak menggunakan tenaga uap, tenaga hidro yang semuanya itu suplainya adalah batubara. Pembangkit listrik tenaga nuklir itu menjadi pilihan jangka panjang," ujar Haendra Subekti di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis 10 Juni.
Ia mengatakan, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) masih sebatas perencanaan dan berdasarkan draf RUPTL baru bisa realisasi di 2040.
Meskipun dalam draf baru bisa dilaksanakan pada 2040, namun semua masih bisa dilakukan pengkajian ulang atau analisis oleh pemerintah.
"Untuk PLTN berdasarkan draf RUPTL nanti di tahun 2040, tetapi itu kan baru draf dan bisa ditinjau oleh pemerintah, apakah tahun 2040 akan ada PLTN. Kalau iya, berarti konstruksi sudah harus ada di 2030 dan itu kita belum tahu di mana lokasi yang cocok," katanya.
Dia mencontohkan, pengalaman di negara seperti Bangladesh yang sudah memulai pembangunan PLTN pada 2018 hingga saat ini karena ada komitmen dan kebijakan langsung dari kepala negaranya.
Butuh waktu yang cukup lama
Haendra mengatakan, membangun satu PLTN di Indonesia akan membutuhkan waktu yang cukup lama karena selain penganggaran yang cukup besar, juga membutuhkan regulasi dan lainnya yang mendukung pembangunan tersebut.
Jika pembangunan PLTN pertama di Indonesia akan dilakukan, maka bisa dimulai dengan pembangkit berkapasitas kecil yang modular pada kisaran angka 100-500 MegaWatt (MW) atau masuk dalam kelas "small medium".
"Yang sekarang tren adalah pembangkit kecil yang modular kapasitas antara 100 hingga 500 MegaWatt. Lokasi tidak butuh yang banyak karena modular bisa dicoba dulu di 100 MW dan baru nanti ditingkatkan," katanya.
Haendra menambahkan, untuk mendukung pembangunan PLTN bisa berjalan, provinsi harus bisa mendukung suplai atau "stater" tersebut.
"Kalau teorinya itu lima persen dari nominal PLTN yang akan dibangkitkan, misalnya, 1.000 MW, maka lima persen suplai harus dari luar karena tidak mengambil dari angka 1.000 MW itu," katanya.
BACA JUGA:
Ikuti info dan berita lainnya hanya di VOI, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!