Bambang Trihatmodjo Minta Sri Mulyani Tidak Terus-terusan Tagih Utang Sea Games 1997
Kuasa Hukum Bambang Trihatmodjo, Hardjuno Wiwoho dan Prisma Wardhana Sasmita. (Didi Kurniawan/VOI)

Bagikan:

MAKASSAR - Bambang Trihatmodjo mengimbau pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk tidak terus-terusan menagih utang Sea Games 1997. Pihak Bambang menilai, dana talangan untuk Sea Games 1997 tersebut merupakan piutang negara.

Dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu 23 Maret, Kuasa hukum Bambang, Hardjuno Wiwoho mengungkapkan, sejak awal uang yang diberikan untuk dana talangan sumbernya bukan dari APBN. Menurutnya, uang tersebut diberikan oleh pihak swasta, yakni dana pungutan reboisasi dari Kementerian Kehutanan.

"Jika kita melihat historis permasalahan ini pun, sumber dari dana talangan ini bukan dari APBN. Kita trace itu bukan dari kas Kemensetneg tapi dari Kementerian Kehutanan, sumbernya dari dana reboisasi. Dana yang memang didapatkan dari pihak swasta," ujar Hardjuno kepada wartawan.

Dana talangan sebesar Rp35 miliar

Sebagai informasi, dana talangan yang jadi masalah diberikan oleh pemerintah saat itu melalui Kementerian Sekretariat Negara kepada konsorsium swasta mitra penyelenggara Sea Games 1997 yang dipimpin oleh Bambang Trihatmodjo.

Dana sebesar Rp35 miliar saat itu diambil pemerintah dari dana reboisasi yang ditampung di Kementerian Kehutanan. Namun secara utuh, jumlah piutang negara yang ditagih Sri Mulyani kepada Bambang Trihatmodjo mencapai nilai Rp64 miliar.

Angka tersebut merupakan akumulasi pinjaman pokok sebesar Rp35 miliar ditambah dengan bunga sebesar 15 persen dengan jangka waktu 1 tahun atau selama periode 8 Oktober 1997 hingga 8 Oktober 1998.

"Kalau dihitung secara detail belum pernah ada sinkronisasi terkait nilainya, tapi yang ditagihkan sekitar Rp64 miliar. Jadi pokok Rp35 miliar dengan bunga 15 persen, jadi sekian. Itu juga kan juga jauh dari nilai keadilan," ujar Kuasa Hukum Bambang yang lainnya, Prisma Wardhana Sasmita.

Menurut Prisma, sebenarnya pihak yang patut bertanggung yaitu PT Tata Insani Mukti (TIM). Meskipun saat itu Bambang menjabat sebagai komisaris utama TMI, tetapi dia bukanlah pemegang saham perusahaan.

Tak ada alokasi anggaran pada waktu itu

TMI sendiri adalah pihak swasta yang bergabung dalam Konsorsium Mitra Penyelenggaraan SEA Games XIX tahun 1997. Bergabungnya TMI berdasarkan penandatanganan MoU pada 14 Oktober 1996 silam. Sementara, dari pihak pemerintah ada Kemenpora, KONI, dan Menkokesra.

Penyelenggaraan SEA Games XIX mengalami kendala biaya karena Indonesia mendadak menjadi tuan rumah menggantikan Brunei Darussalam. Pada mulanya, biaya yang diminta oleh Kemenpora/KONI sekitar Rp70 miliar, kemudian membengkak sebesar Rp156,6 miliar.

Saat itu negara tidak ada memiliki alokasi anggaran dari sisi APBN. Sementara KONI mendadak meminta dana tambahan sejumlah Rp35 miliar untuk pembinaan atlet. Padahal saat itu konsorsium swasta hanya menyanggupi mencarikan dana penyelenggaraan sebesar Rp70 miliar.