Bagikan:

JAKARTA - Hipertensi adalah kondisi ketika tekanan darah lebih tinggi dari nilai normal, dan sering disebut ‘The Silent Killer’ karena biasanya terjadi tanpa adanya keluhan. Hipertensi bisa berisiko menimbulkan gangguan kesehatan lainnya, salah satunya preeklamsia pada ibu hamil.

Preeklamsia adalah kondisi medis serius yang ditandai dengan tekanan darah tinggi dan kerusakan organ tubuh, terutama ginjal dan hati. Preeklamsia biasa terjadi pada ibu hamil, umumnya setelah minggu ke-20 kehamilan.

“Ibu hamil sudah preeklamsia, terus tekanan darahnya resisten, 140/90, dengan minimal tiga obat dan dosis optimal. Hal ini bisa terjadi terutama pada ibu yang dekat masa persalinan, trimester ketiga di mana beban terhadap sirkulasi itu semakin tinggi, sehingga tekanan darah juga semakin tinggi,” kata Ketua Panitia dan Ketua Umum Tim Buku Panduan Penatalaksanaan Hipertensi Peripartum 2025, Dr. Ni Made Hustini, saat ditemui di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Jumat, 20 Februari 2025.

Mengutip lama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Dokter Ni Made mengatakan bahwa 80 persen kematian pada ibu yang diklasifikasikan sebagai kematian langsung terkait kehailan, disebabkan oleh lima penyebab. Mulai dari pendarahan postpartum 25 persen, preeklamsia dan eklamsia 20 persen, abortus 13 persen, dan penyebab lainnya 7 persen.

Di Indonesia sendiri, salah satu penyebab kematian ibu tertinggi di Indonesia adalah akibat preeklamsia. Prevalensi global hipertensi dalam kehamilan diperkirakan sekitar 10 sampai 15 persen, sementara preeklamsia memengaruhi 2 sampai 8 persen dari semua kehamilan.

Dampak preeklamsia

Preeklamsia yang tidak ditangani dengan baik bisa menimbulkan berbagai dampak pada ibu hamil dan juga janin yang dikandung. Tidak hanya tentang tekanan darah, kondisi ini juga bisa memengaruhi kesehatan ginjal. Jika fungsi ginjal sudah ikut terganggu, maka penanganannya semakin sulit.

“Preeklamsia itu tidak hanya mengenai tekanan darah, ada juga keterlibatan ginjal ya. Kalau misalnya kita periksa kencing pasien hamil, terus ada protein di kencingnya, itu juga merupakan diagnosis untuk preeklamsia,” tutur Dokter Ni Made.

“Kalau fungsi ginjalnya diikuti ada gangguan, maka pengendalian tekanan darahnya juga akan semakin sulit,” tambahnya.

Penanganan preeklamsia

Penanganan preeklamsia biasanya dilakukan dengan pemantauan rutin terhadap kondisi ibu dan janin. Diusahakan agar janin bisa tumbuh normal di dalam kandungan hingga waktu yang tepat.

Namun, jika sudah terjadi kondisi komplikasi yang bisa membahayakan ibu dan sang janin, maka persalinan dini harus dilakukan.

“Mau tidak mau pasien harus diselamatkan, dengan dirawat untuk mengendalikan tekanan darah untuk mencegah komplikasi. Targetnya adalah bagaimana tekanan darah itu senormal itu untuk ibu hamil, supaya bayinya hidup bisa hidup,” katanya.

“Kalau dia belum mencapai usia matang 37,38 minggu nggak layak keluar. Maka kita selama mungkin rawat dia di perut ibunya, kecuali ada gangguan lain seperti kesadaran, darah, gangguan fungsi hati, maka harus dilahirkan, anaknya harus lahir prematur,” lanjutnya.

Pencegahan preeklamsia

Cara untuk mencega preeklamsia adalah dengan peran aktif sang ibu hamil memeriksakan diri terkait riwayat hipertensi jika memilikinya. Jika sudah memiliki hipertensi maka harus melakukan pemantauan kesehatan rutin agar tidak terjadi preeklamsia di masa kehamilan.

“Banyak sekali hal yang harus dilakukan untuk menangani satu pasien preeklamsia. Jadi betapa pentingnya bagi orang yang preeklamsia harus dideteksi dan ditangani dengan baik. Jika sudah preeklamsia, risiko terjadi lagi preeklamsia di kehamilan berikutnya tetap tinggi,” sambung Dokter Ni Made.

Selama masa kehamilan, ibu juga diwajibkan untuk menjaga berat badan yang sehat, mengatur pola makan, mengelola stres, hingga konsumsi suplemen yang disarankan dokter, untuk mencegah preeklamsia dan proses kehamilan serta persalinan bisa berjalan lancar.