JAKARTA - Masalah hipertensi masih menjadi perhatian serius di Indonesia, seiring tingginya angka penderita yang belum terdiagnosis dan rendahnya efektivitas pengobatan.
Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia (INASH) menyoroti bahwa tantangan utama dalam mengendalikan hipertensi tidak hanya berasal dari pasien, tetapi juga dari kurangnya optimalisasi pengobatan oleh tenaga kesehatan.
“Permasalahan pengendalian hipertensi di Indonesia serupa dengan negara-negara Asia Pasifik lainnya, seperti tingginya jumlah kasus yang tidak terdeteksi, tingkat kepatuhan pengobatan yang rendah, serta adanya clinical inertia, yaitu kurangnya intensifikasi terapi sesuai pedoman oleh tenaga medis,” jelas Ketua INASH, dr. Eka Harmeiwaty, Sp.N, seperti dikutip ANTARA.
Menurut Eka, masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang risiko komplikasi hipertensi menjadi salah satu kendala utama. Ditambah lagi, kebiasaan mengonsumsi makanan tinggi garam, minimnya akses ke fasilitas kesehatan, faktor sosial-ekonomi, dan kurangnya promosi gaya hidup sehat memperparah situasi.
Berdasarkan data Riskesdas 2018, hanya satu dari tiga pasien hipertensi yang berhasil mencapai target pengobatan. Temuan serupa diperoleh dalam survei May Measurement Month (MMM) oleh INASH yang mencatat hanya 38,2 persen pasien yang berhasil mencapai target tekanan darah.
Untuk mencapai target pengendalian hipertensi sebesar 50 persen, lebih dari 24,3 juta penderita hipertensi di Indonesia memerlukan pengobatan yang efektif dan berkelanjutan.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2023 mengungkapkan sekitar 1,28 miliar orang berusia 30-79 tahun di dunia hidup dengan hipertensi, dengan hampir dua pertiganya berada di negara berkembang, termasuk Indonesia. Dari jumlah tersebut, kurang dari 42 persen yang mendapatkan diagnosis dan pengobatan, dan hanya 21 persen yang berhasil mencapai target tekanan darah normal.
Meski prevalensi hipertensi di Indonesia mengalami penurunan dari 30,8 persen pada 2018 menjadi 24,1 persen berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, risiko komplikasi serius seperti stroke, penyakit jantung koroner, gagal ginjal, kebutaan, hingga demensia masih mengintai penderita yang tidak terkontrol tekanan darahnya.
BACA JUGA:
Eka menegaskan bahwa banyak kasus hipertensi di Indonesia dipicu oleh faktor risiko seperti kebiasaan merokok, obesitas, dan konsumsi garam berlebihan. Oleh karena itu, ia menganjurkan masyarakat untuk mulai mengadopsi pola hidup sehat, mengurangi asupan garam, rutin memantau tekanan darah, dan melakukan skrining hipertensi secara berkala.
“Pendeteksian dini sangat penting untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Selain itu, pendekatan berbasis genomik juga bisa menjadi langkah preventif, mengingat sekitar 60,1 persen kasus hipertensi berkaitan dengan faktor genetik,” tambahnya.
Eka juga menyoroti pentingnya regulasi yang lebih ketat terkait batas kandungan garam dalam produk makanan, terutama makanan kemasan dan makanan beku (frozen food), untuk membantu mengendalikan konsumsi garam masyarakat. Ia mengajak masyarakat lebih cermat dalam membaca label kandungan nutrisi pada produk makanan guna memantau asupan garam harian.
“Pemerintah perlu meninjau kembali pedoman penanganan hipertensi yang telah disusun oleh INASH dan memperkuat regulasi terkait konsumsi garam. Di sisi lain, masyarakat juga harus sadar akan pentingnya menjaga tekanan darah sejak dini,” tutup Eka.