Biaya Utang Dipastikan Naik, Begini Strategi Pemerintah Susun RAPBN 2023
Ilustrasi (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menilai bahwa tantangan perekonomian ke depan masih cukup berdinamika. Pasalnya, tren kenaikan inflasi pasti akan direspon oleh pengetatan likuiditas hingga peningkatan suku bunga acuan oleh bank sentral, utamanya di negara maju serta berpengaruh seperti Amerika Serikat (AS).

“Bisa disimpulkan bahwa arahnya pasti, yaitu inflasi tinggi dan oleh karena itu policy moneter yang lebih ketat dan lebih tinggi untuk interest rate-nya. Hanya pertanyaannya adalah seberapa tinggi dan seberapa cepat,” ujar Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani saat menghadiri rapat kerja dengan Komisi XI DPR pada Rabu, 8 Juni.

Menurut bendahara negara, kondisi ini diyakini bakal menimbulkan dampak rambatan terhadap ongkos pembiayaan (cost of money) terhadap utang pemerintah. Untuk itu, Menkeu menilai bahwa penyusunan RAPBN 2023 harus dilakukan secara hati-hati mengingat pada tahun depan level defisit anggaran sudah harus turun di bawah 3 persen.

“Artinya memang cost of money akan menjadi lebih tinggi. Untuk itu implikasi di dalam asumsi makro ini adalah mengenai suku bunga, dan juga implikasi kedua adalah pada postur APBN yang harus dijaga dari sisi keberlanjutan, dari ukuran defisit yang akan kita capai di dalam pembahasan RAPBN 2023,” tutur dia.

Untuk diketahui, tren kenaikan suku bunga negara maju sudah mulai terjadi. Salah satu yang menjadi perhatian adalah kebijakan moneter bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) yang telah mengerek rate interest 50 basis poin (bps) pada awal bulan lalu. Langkah tersebut diyakini akan berlanjut hingga 350 bps pada sepanjang tahun ini.

Sikap The Fed tersebut tentu saja berpengaruh terhadap nilai tukar dolar yang semakin menguat. Sebagai efek rambatan, pemerintah RI harus mengeluarkan biaya ekstra untuk pembayaran bunga surat utang yang dirilis dalam denominasi dolar.

“Kita terus melihat dinamika global, yaitu interest rate yang cenderung naik dan dolar yang cenderung dibuat lebih kuat, termasuk juga euro dan yen,” tutup Menkeu Sri Mulyani.