<i>Ghosting</i> dalam Sudut Pandang Perdata dan Pidana serta Preseden-presedennya
Gading Marten memerankan Richard dalam Love for Sale (Instagram/@loveforsalefilm)

Bagikan:

JAKARTA - Felicia Tissue, mantan kekasih Kaesang Pangarep menceritakan banyak hal mengenai hubungannya dengan putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu. Suatu waktu Felicia mengaku pernah diajak menikah oleh Kaesang, sebelum Kaesang kemudian menghilang. Istilah ini biasa dikenal ghosting. Kita tahu itu. Tapi apa kita juga tahu ternyata ghosting bisa diperkarakan secara hukum. Ada preseden-presedennya.

Lewat akun YouTube, Felicia mendetail apa yang terjadi antara dirinya dan Kaesang. Menurut Felicia pada akhir Desember 2020 ia dan Kaesang berbincang di telepon. Dalam perbincangan itu Kaesang mengajak Felicia menikah dan "sudah memberitahukan kepada bapak Jokowi," tutur Felicia, dikutip dari Djawanews, Kamis, 27 Mei. Tak cuma kepada Jokowi, Kaesang juga telah meminta restu kepada orang tua Felicia.

Dua pekan setelah perbincangan itu keduanya putus kontak. Kaesang, dikatakan Felicia memblokir seluruh kontak selulernya. Pada momen ini Felicia mengaku amat terpukul. Meski begitu Felicia masih berupaya mencari tahu ada apa gerangan sih, Kaesang? Banyak cara dilakukan Felicia, termasuk menghubungi Iriana Joko Widodo, ibunda Kaesang. Namun semua langkah nihil hasil. "Ibu Iriana pun mengganti nomor selulernya."

Felicia juga sempat mengontak seseorang yang ia sebut sebagai keluarga Iriana. Felicia menyebutnya "Bude." Kepada Felicia, Bude menjanjikan informasi tentang kondisi yang terjadi. Namun, lagi-lagi cuma janji. Jawaban tak juga didapat Felicia. "Alangkah anehnya. Dan yang lebih kejam lagi, putra beliau tetap aktif di sosial media tetapi saya diabaikan begitu saja tanpa kabar dari semua pihak keluarga Bapak Jokowi."

Upaya lain dilakukan Felicia, yakni dengan mengirim surat bertulis tangan dari Singapura ke Indonesia. Felicia berharap respons Jokowi dan keluarga. Felicia mengatakan dampak dari apa yang terjadi antara dia dan Kaesang sangat berat tanpa kejelasan. "Karena dampaknya akan sangat berat bagi saya apabila tidak ada penjelasan dan penyelesaian dari pihak beliau," tutur Felicia dalam raut wajah emosional.

Ghosting dalam perspektif hukum

Memberi janji menikahi seseorang, lalu mengingkari janji tersebut nyatanya dapat digugat. Tak cuma secara perdata tapi juga pidana. Sungguh artikel ini tidak meminta siapapun dari kita untuk menggugat pasangan yang mengingkari janjinya. Penjara sudah terlalu penuh dengan kriminalisasi pengguna narkoba dan korban UU ITE. Tapi perkara macam ini nyatanya memang sudah ada yuriprudensinya.

Yang perlu diketahui terlebih dulu, janji menikahi ini berbeda dengan perjanjian perkawinan sebagaimana dikenal dalam Undang-Undang (UU) 1 Tahun 1975 tentang Perkawinan. Janji menikahi ini biasanya disampaikan secara lisan, bahkan mungkin rayuan. Beberapa waktu lalu, Mahkamah Agung (MA) menghukum AS (34), seorang pria Banyumas, Jawa Tengah dengan denda Rp150 juta.

Felicia Tissue dan Kaesang Pangarep (Instagram/@kaesangp)

AS dianggap mengingkari janji akan menikahi kekasihnya, SSL. Mengutip situs resmi MA, perkara ini tertuang dalam putusan kasasi MA Nomor 1644 K/Pdt/2020. Berkas perkara menceritakan kasus ini bermula pada 14 Februari 2018. Kala itu, di Hari Valentine, AS melar SSL dengan membawa kedua orang tua dan kerabatnya.

AS membawa cincin tunangan dan barang hantaran. Acara berbau adat Jawa itu menyepakati pernikahan antara keduanya akan digelar pada September 2018. Usai lamaran AS dan SSL pergi ke Cilacap. Keduanya menginap di hotel. Dalam kesempatan itu AS mengajak SSL berhubungan intim. SSL menolak dengan alasan belum sah. AS sempat merajuk dan meyakinkan SSL, toh pernikahan mereka tinggal menunggu waktu.

[TULISAN SERI: Keputusan Menikah adalah Otorisasi Pribadi Setiap Orang]

SSL pun mengiyakan persenggamaan pertama dalam hidupnya. Dua bulan sejak itu, AS ketahuan berhubungan asmara dengan mantan kekasihnya hingga September, waktu yang dijanjikan, AS membatalkan pernikahan itu. AS menemui orang tua SSL dan mengatakan batal menikah SSL. Keluarga SSL tak terima dan menggugat AS ke pengadilan.

Proses hukum berjalan. Pengadilan Negeri (PN) Banyumas memutuskan AS melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian bagi SSL. Majelis hakim yang diketuai Enan Sugiarto dan dua anggotanya, Tri Wahyudi dan Randi Jastian Afandi menghukum AS dengan kewajiban bayar ganti rugi imateriil sebesar Rp100 juta secara tunai dan sekaligus.

AS tidak terima dan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Semarang. Tak dikabulkan, hukuman AS justru diperberat menjadi Rp150 juta secara tunai dan sekaligus. Menolak putusan hakim, AS mengajukan kasasi ke MA. Kasasi itu ditolak. MA menilai AS telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan membatalkan sepihak rencana pernikahannya dengan SSL tanpa alasan yang sah.

"Sehingga pembatalan a quo membawa kerugian moril pada Penggugat Konvensi (penggugat asal) dan keluarga," bunyi pertimbangan Majelis Kasasi.

Yurisprudensi dan preseden lain

Mahkamah Agung (Sumber: Setkab)

Mengutip analisis Hukum Online, kasus ini ditempuh dengan gugatan perdata menggunakan dalil perbuatan melawan hukum, yang umumnya merujuk pada Pasal 1365 BW/KUH Perdata. Pasal itu menyebut "setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian bagi orang lain mewajibkan orang orang yang karena salahnya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut".

Salah satu yurisprudensi dari kasus semacam ini adalah putusan MA yang dijatuhkan Hakim Agung Bagir Manan, Parman Suparman, dan Arbijoto pada pertengahan Juli 2003. Kala itu Majelis Hakim MA mengabulkan permohonan kasasi dengan pertimbangan bahwa tak dipenuhinya janji menikahi mengandung arti pihak tergugat telah melanggar norma kesusilaan dan kepatutan masyarakat. Perbuatannya juga disebut melawan hukum.

Namun, yang dialami AS, SSL, dan apa yang diputus Bagir Manan bukan pertama. Yurisprudensi kasus-kasus di atas merujuk putusan MA Nomor 3191 K/Pdt/1984 tanggal 8 Februari 1986. Buku Himpunan Jurisprudensi Indonesia yang Penting untuk Praktek Sehari-Hari (Landmark Decisions) karya Sudargo Gautama mencatat putusan tertanggal 8 Februari 1986 itu sebagai yang pertama dalam konteks pengingkaran janji nikah.

Dari segala kasus di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak dipenuhinya janji untuk mengawini sebagai perbuatan melawan hukum karena melanggar kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat. Yang terpenting dari perspektif ini adalah terpenuhinya syarat adanya kerugian yang ditimbulkan pengingkaran janji nikah.

Dapat dipidana

Lebih gawat dari apa yang telah kita bahas di atas, kasus ingkar janji menikahi nyatanya bisa dijerat dengan hukum pidana. Putusan MA Nomor 522 K/Sip/1994 menjatuhkan hukuman bagi seorang pria yang terlanjur menghamili seorang perempuan. Si pria kemudian memaksa sang perempuan mengugurkan kandungan. Perilaku kasar menyertai. Sang perempuan ditendang dan dipukul.

MA menghukum pria tersebut dengan pidana menyerang kehormatan susila, pencurian dengan kekerasan, serta penganiayaan yang mengakibatkan luka berat. Pada kasus lain MA juga pernah menghukum seorang pria yang mengingkari janji menikahi dengan konstruksi Pasal 378 KUHP, yakni penipuan. Kasus ini diproses PN Sekayu, Sumatera Selatan pada 5 November 2015 silam.

Kasus di PN Sekayu ini menempatkan seorang terdakwa yang janji menikahi pacarnya, dengan keduanya telah membahas mahar. Terdakwa kabur ke Pulau Jawa untuk menghindari pernikahan setelah mendapat sejumlah barang dari keluarga saksi korban. Majelis hakim memberatkan dengan alasan perbuatan terdakwa membuat malu saksi korban dan keluarganya.

Meski begitu tak semua gugatan terhadap pengingkaran janji menikahi diterima. Putusan kasasi MA tertanggal 23 Februari 2013 memperlihatkan Majelis menolak permohonan kasasi seorang Penggugat Asal karena gagal membuktikan dalilnya telah menyerahkan keperawanan kepada Tergugat.

*Baca Informasi lain soal HUKUM atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya