Ironi Pendidikan Indonesia: Dulu Ekspor Guru, Kini Inovasi Riset Tertinggal dari Malaysia
Ilustrasi (Sumber foto: jarlitbangnov.sippjateng.id)

Bagikan:

JAKARTA - Setiap 2 Mei kita tak pernah absen memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Namun masih ada segudang pekerjaan rumah yang harus dibenahi. Salah satunya soal inovasi riset yang mandek hampir selama dua dekade. Saking mundurnya, Indonesia tertinggal jauh dari Malaysia yang dulu pernah impor guru dari Indonesia. Lantas apa akar masalahnya?

Salah satu kualifikasi untuk melihat seberapa berkembangnya bidang inovasi dan riset suatu negara adalah dengan melihat Global Innovation Index (GII). Ironinya, sejak 2013 sampai detik ini peringkat GII Indonesia tak pernah naik dari posisi 85. Riset kita mandek. Bahkan pada 2013 sampai 2015 sempat mundur. 

Laporan GII dibuat oleh Cornell University, INSEAD dan World Intellectual Property Organization. Tujuannya untuk mengukur faktor-faktor pembentuk inovasi dengan memahami secara rinci aspek manusia di balik inovasi guna meningkatkan pembangunan ekonomi. 

Ada tujuh faktor yang diukur survei ini antara lain, pembangunan manusia dan penelitian (human capital and research), institusi (institutions), infrastruktur (infrastructure), kemajuan pasar (market sophistication), kemajuan bisnis (business sophistication), hasil sains (scientific outputs), dan hasil kreatif (creative outputs). Skala skor yang digunakan yakni 0-100.

Pada 2013 GII Indonesia menempati peringkat 85. Tahun berikutnya turun dua tangga ke peringkat 87. Parahnya, pada 2015 anjlok di posisi 97. Peringkat GII Indonesia baru bisa kembali ke posisi 85 pada 2019. Dan tahun lalu, posisinya masih sama. 

Tertinggal dari Malaysia

Kalau melihat data GII terbaru pada 2020, Singapura menjadi satu-satunya negara ASEAN yang masuk peringkat 10 besar GII dengan skor 56,6. Sementara yang masuk peringkat 50 besar ada Malaysia (peringkat 33) dengan skor 42,4, Vietnam (peringkat 42) dengan skor 37,1, Thailand di posisi 44 dengan skor 36,7 dan Filipina (peringkat 50) dengan skor 35,2. 

Faktanya, inovasi dan riset Indonesia terlampau jauh dari negara tetangga, Malaysia. Padahal dulu Negeri Jiran pernah belajar dari Indonesia

Di era Orde Baru, Indonesia sering mengirim tenaga guru terdidik ke Malaysia. Ekspor guru ke Malaysia juga berasal dari permintaan langsung Pemerintah Malaysia sebagai tindak lanjut terbentuknya kembali lembaga persahabatan kedua negara. Tapi itu dulu.

Sekarang pendidikan Malaysia terutama dari segi riset dan inovasi sudah melampaui Indonesia. Buktinya, pada laporan GII 2020 (pdf) Malaysia bertengger di posisi kedua negara dengan pendapatan menengah ke atas paling inovatif. Negeri Jiran ini tepat berada satu tingkat di bawah China. 

Tahun lalu, GII Malaysia berada di urutan ke-33. Naik dua peringkat dari tahun sebelumnya. Sebagai catatan mereka berhasil meningkatkan skornya di sub-indeks keluaran inovasi sementara sub-indeks masukan inovasinya stabil. 

Dari sub-indeks masukan inovasi, Malaysia tercatat memiliki kekuatan pada sub-pilar pendidikan tersier. Malaysia tercatat menempati peringkat keempat dalam hal meluluskan sarjana sains dan teknik. Selain itu, Negeri Jiran juga menjadi peringkat 17 sebagai negera yang punya tiga universitas terbaik.

Sementara dari sisi pengeluaran inovasi, Malaysia juga mencatatkan hasil relatif baik pada sub-pilar aset tidak berwujud dan menempati peringkat tujuh soal nilai merek global (global brands value). Salah satunya berkat keberhasilan Petronas memimpin 60 brand masuk 5.000 brand terbaik dunia. 

Kemudian beberapa indikator lain yang berhasil ditingkatkan adalah soal kemudahan melindungi investor minoritas, kapitalisasi pasar, kolaborasi penelitian universitas dan industri, impor teknologi tinggi, ekspor teknologi tinggi, dan ekspor barang-barang kreatif.

Malaysia, yang dulu pernah belajar dari Indonesia kini berhasil melampaui "gurunya". Pertanyaannya kenapa Indonesia bisa tertinggal dari Malaysia?

Akar masalah

Penasihat Centre for Innovation Policy & Governance, Yanuar Nugroho dalam tulisannya di Majalah Tempo edisi 13 Februari 2021 menjelaskan, masalah paling mendasar soal riset dan inovasi Indonesia adalah karena kedua hal itu tak pernah sungguh-sungguh menjadi prioritas di negara ini. Menurut dia, wacana tentang "iptek" yang dulu lekat pada era Orde Baru dan sosok B.J. Habibie kini seperti menguap dari ruang publik. 

Demikian juga dalam perencanaan pembangunan, ilmu pengetahuan, riset, dan teknologi serta inovasi, sejak reformasi sampai 2014 tidak pernah menjadi prioritas nasional. "Artinya, sejak Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono," tulis Yanuar. 

Barulah pada periode pertama pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla, ipten dan inovasi muncul sebagai prioritas nasional, meski dalam pengejawantahannya jauh panggang dari api. Misalnya saja kata Yanuar, soal pembangunan 100 science-techno park dalam lima tahun yang hanya tercapai lima. Pencapaian itu sama mirisnya dengan anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk riset. 

"Tak ada perubahan berarti di periode kedua Joko Widodo-Ma'ruf Amin... Pun dalam anggaran, dari total APBN 2021 sebesar Rp2.750 triliun, alokasi untuk riset hanya Rp9,9 triliun, ini malah turun dari APBN 2020," tulis Yanuar. "Ini semua makin menegaskan riset dan inovasi memang tak pernah menjadi prioritas."

Untuk itu Yanuar bilang mimpi Indonesia Maju 2045 bisa jadi tinggal mimpi kalau riset dan inovasi tidak pernah menjadi tuan di negeri sendiri. "Itulah mengapa kita mesti memprioritaskan riset dan inovasi dalam satu orkestrasi," kata dia. 

BERNAS Lainnya