Kasus Penistaan Agama Terus Berulang, Antara Ingin Viral dan Kebebasan Berekspresi yang Kebablasan
Pendeta Gilbert Lumoindong tengah menjadi sorotan karena ceramahnya dianggap menista agama Islam. (Instagram/@pastorgilbertl)

Bagikan:

JAKARTA - "Saya Islam diajari bersih sebelum sembahyang, cuci semuanya. Saya bilang, lu 2,5 (persen) gua 10 persen, bukan berarti gua jorok, disucikan oleh darah Yesus," kata Pendeta Gilbert Lumoindong dalam ceramah yang kemudian menjadi viral. 

Potongan ceramah Pendeta Gilbert Lumoindong mendadak viral dan menjadi perbincangan warganet. Itu karena video yang pertama kali diunggah akun X @Munir_Timur pada 14 April 2024 dengan cepat tersebar luas di media sosial. Isi ceramah dalam video itu tidak jauh dari membandingkan sejumlah aturan dan ibadah umat Islam maupun Kristen.

Dalam video berdurasi kurang dari satu menit itu, Pendeta Gilbert membandingkan zakat umat Islam yang 2,5 persen dengan Kristen 10 persen. Kemudian ia mengatakan zakat 10 persen membuat umatnya tidak perlu repot bergerak dalam ibadah. Kemudian ia mengatakan zakat 10 persen itu membuat umatnya tak perlu repot bergerak dalam ibadah. Berbeda dengan umat Islam yang diwajibkan sholat lima waktu karena hanya zakat 2,5 persen.

Sejak video tersebut beredar luas, nama Pendeta Gilbert langsung menjadi perbincangan. Ia menyampaikan permohonan maaf kepada semua masyarakat Indonesia setelah bertemu dengan Ketua Dewa Masjid Indonesia sekaligus Wakil Presiden ke-10 dan 12 Jusuf Kalla, Senin (15/4/2024).

Kendati demikian, ia tetap dilaporkan oleh pengacara Farhat Abbas ke Polda Metro atas dugaan penistaan agama.

Mulai Ahok Sampai Presiden Prancis

Penistaan merupakan aktivitas atau sikap yang menjurus kepada tindakan menghina, mencela atau bahkan merendahkan. Sehingga secara umum, penistaan agama adalah tindakan penghinaan atau perilaku merendahkan terhadap kepercayaan dari seseorang atau golongan.

Penghinaan ini dapat berupa tindakan, ucapan atau yang lainnya terhadap sebuah kepercayaan, simbol-simbol, kitab suci atau ornamen keagamaan lainnya, baik sengajak atau tidak.

Kasus penistaan agama cukup sering terjadi di Indonesia. Publik mungkin masih ingat dengan kasus yang menjerat penulis sekaligus wartawan Arswendo Atmowiloto yang dipenjara selama empat tahun enam bulan pada 1990. Ia dianggap melakukan penistaan agama setelah menempatkan Nabi Muhammad di urutan ke-11 survei tokoh pilihan pembaca Tabloid Monitor. Dalam survei itu, Presiden Soeharto menduduki peringkat pertama.

Lalu ada pula salah satu kasus penistaan agama yang paling menghebohkan terjadi pada 2016, sebelum Pilkada DKI Jakarta. Gubernur Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama atau akrab dipanggil Ahok, dituduh melakukan penistaan agama dalam pidatonya di Kepulauan Seribu. Ahok dianggap telah merendahkan surat Al-Maidah ayat 51.

Terdakwa kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menyerahkan nota pembelaaan kepada majelis hakim saat sidang lanjutan di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (25/4/2017). (Antara/Indrianto Eko Suwarso)

Pada 2022, sebuah video yang menunjukkan pria asal Sukabumi menantang umat Muslim dan menginjak kita suci Al Quran secara sengaja.

Lalu belum lama ini Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan juga dituding menistakan agama meski kasusnya tidak sampai berurusan dengan hukum. Ia menyampaikan kelakar soal perubahan masyarakat saat shalat, yakni dengan tidak mengucapkan “amin” setelah membaca Surat Al-Fatihah dan mengacungkan dua jari ketika tahiyatul akhir.

Pernyataan itu disampaikan Zulhas saat memberikan sambutan di acara Rakernas Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) di Semarang, 19 Desember 2023.

Sejumlah pengunjuk rasa mengikuti aksi damai bela nabi di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Jumat (30/10/2020). Dalam aksinya mereka mengecam pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang diaanggap menghina Islam dan Nabi Muhammad. (Antara/Raisan Al Farisi/aww)

Penistaan agama juga marak terjadi di luar negeri. Presiden Prancis Emmanuel Macron disebut-sebut sebagai musuh umat Islam di era sekarang. Macron sempat berujar bahwa “Islam adalah agama yang sedang mengalami krisis di seluruh dunia".

Selain itu, Macron juga menganggap enteng masalah karikatur Nabi Muhammad yang dikeluarkan Charlie Hebdo dan menyebut itu sebagai bentuk kebebasan berekspresi.

Menyalahgunakan Kebebasan

Mengapa kasus penistaan agama sering terjadi di Indonesia? Dadang Kahmad, dalam acara Live Dialektia dengan tema “Penistaan Agama: Mengapa Terus Berulang?” mengatakan, faktor pencetus penistaan agama berasal dari luar dan dalam. Faktor dari dalam terdiri atas ketidaktahuan terhadap agama yang ia bicarakan, dan adanya kemungkinan kebencian. Sementara faktor dari luar yaitu media sosial.

Menurutnya, saat ini orang dapat bebas berekspresi di platform media sosial. Namun, tidak sedikit orang yang menyalahgunakan kebebasan tersebut untuk melakukan hal-hal yang tidak semestinya.

“Silakan berekspresi bebas, tetapi jangan sampai menyinggung terhadap kelompok-kelompok lain,” jelas Dadang pada 28 Agustus 2021, yang ketika itu ia masih menjabat sebagai Ketua PP Muhammadiyah.

Pendakwah Abdul Somad Batubara atau Ustadz Abdul Somad juga pernah terkena kasus dugaan penistaan agama. (Instagram/@ustadzabdulsomad_official)

Penistaan agama ini tidak hanya dilakukan oleh kalangan atas, tapi juga masyarakat biasa. Mereka biasanya memanfaatkan media sosial untuk menista agama, seperti kasus tiga wanita di Karawang yang menginjak Al Quran di hadapan sejumlah warga. Kemudian YouTuber Jozeph Paul Zhang juga terseret kasus penodaan agama karena mengaku sebagai nabi ke-26.

Pada Oktober 2023, seorang pengguna TikTok ditangkap polisi setelah ditetapkan menjadi tersangka penista agama Kristen. Kasus ini bermula dari video pelaku, Fikri Murtadha (28), asal Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut), yang membicarakan tentang agama Kristen viral di media sosial. Dalam akun TikTok @bangmorteza, ia berbicara tentang salib sehingga melukai umat Kristen.

Menurut Frida Kusumastuti selaku Dosen Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang, sekarang ini motif penistaan agama bukan hanya soal kebencian, melainkan karena ingin viral dan mempunyai jumlah followers yang banyak agar bisa mendapatkan sejumlah uang.

Frida menambahkan, sebagai warganet kita bisa melakukan hukuman sosial kepada para penoda agama agar mereka jera. Salah satu caranya adalah dengan mengunduh konten negatif itu, kemudian melaporkannya ke pihak kepolisian.

Frida menegaskan bahwa ketika mendapatkan sebuah berita, sebelum membagikan ke orang lain atau publik, yang harus dilakukan adalah meneliti dahulu kebenaran berita tersebut. “Apapun yang kita lakukan harus mengutamakan kebajikan bagi orang lain, kemudian tanggung jawab. Kita harus mau menanggung segala konsekuensi dari apa yang telah kita lakukan,” jelas Frida.