Tudingan 'All President Men' untuk Dewan Pengawas KPK
Sertijab pimpinan baru KPK (Wardany Tsa Tsia/VOi)

Bagikan:

JAKARTA - Walau sudah dilantik, polemik soal Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang baru pertama kalinya ada di dalam tubuh lembaga antirasuah itu terus mengalir. Terbaru, Dewas KPK malah dianggap tak sepenuhnya independen. Tanggapan ini dilontarkan Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti.

Alasan Ray jelas, nama-nama yang kini jadi Dewas KPK tak pernah disosialisasikan oleh Presiden Joko Widodo atau pun tim seleksi internal yang diketuai oleh Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno. 

Bukan hanya itu, Ray bahkan mengatakan dengan nama-nama Dewas KPK yang ditentukan oleh Jokowi, garis birokrasi lurus pada presiden, dan komisioner yang tak independen maka patutlah bila lembaga ini disebut berada di bawah kekuasaan presiden.

"Hampir bisa disebut, KPK yang sekarang ditempati All President Men," kata Ray kepada wartawan, Sabtu, 21 Desember.

Pengamat politik ini juga menilai walaupun untuk pertama kalinya Dewas KPK ini dipilih dengan hak prerogatif Presiden Jokowi, tapi harusnya dia juga mendengar masukan dari publik. Apalagi, sejumlah nama ini menempati posisi yang sebenarnya tumpang tindih fungsinya dengan jabatan yang lain. 

"Nama-nama yang dipilih memang pribadi yang baik. Masalahnya adalah mereka sekarang menempati sebuah jabatan dengan fungsi yang tumpang tindih," ungkapnya.

Tumpang tindih yang dimaksud Ray adalah, Dewas KPK yang diketuai oleh Tumpak Hatorangan Panggabean ini ternyata juga bertanggung jawab memberikan izin dilakukannya penyidikan, penyadapan, pengeledahan atau pun penyitaan. Diketahui, kewenangan ini termaktub dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan UU KPK Pasal 37b.

Ray juga mengomentari kewenangan itu, kata dia, sesuai namanya seharusnya Dewas KPK hanya melakukan fungsi pengawasan bukan malah melakukan pemberian izin. "Lalu siapa yang bisa memastikan bahwa dewasnya juga bekerja sesuai dengan aturan yang ada," tegasnya.

"Apakah mereka benar-benar memberi atau menolak izin atas dasar pertimbangan objektif atau subjektif," imbuh dia sambil menambahkan bisa saja tumpang tindih struktur organisasi ini membuat nama besar yang duduk jadi Dewan Pengawas KPK tak bisa bergerak maksimal.

Tudingan Ray kemudian dijawab oleh pemerintah. Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD dengan enteng mengatakan keputusan pemerintah memang kerap tak bisa menyenangkan semua pihak. Dia bahkan mengatakan, apapun keputusan yang ada sudah biasa jika pemerintah disalahkan.

"Di Indonesia itu apa-apa selalu disalahkan. Dulu kalau ketika ada pikiran bahwa nanti Dewas KPK itu jangan dipilih DPR. Kalau DPR itu politik, main mata dan sebagainya. Sekarang sesudah dipilih presiden dikritik lagi. Katanya orang presiden semua," kata Mahfud kepada wartawan di Jakarta, Minggu, 22 Desember.

Kebijakan itu, kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), sudah biasa jika diprotes atau dikritik masyarakat. Tapi, meski gelombang protes dan kritik terus ada,  pemerintah harus menjalankan apa yang sudah diamanatkan oleh undang-undang.

"Kembalikan saja ke undang-undang. Kalau nanti misalnya ditentukan itu dipilih oleh DPR protes ramai lagi. Kalau dipilih oleh presiden masih ada orang yang memprotes, seperti Ray Rangkuti atau Haris Azhar, ya terus mau gimana? Negara ini harus jalan, kan harus begitu," tegasnya.

Tak hanya Mahfud, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin juga mengomentari soal pernyataan Ray Rangkuti. Menurut dia, orang-orang tersebut bukanlah All President Men tapi manusia setengah dewa.

Ngabalin menilai, pengangkatan Tumpak Hatorangan Panggabean, Albertina Ho, Artidjo Alkostar, Syamsudin Haris, dan Harjono adalah pembuktian Jokowi atas keraguan publik soal Dewas KPK. "Itu yang saya selalu bilang Pak Jokowi, top markotop sekaligus memberikan jawaban kepada publik ya," ungkap Ngabalin di Jakarta, Minggu, 22 Desember.

"Perintah undang-undang untuk pertama kali presiden yang memilih, menunjuk, mengangkat, dan melantik dewan pengawas (KPK)," imbuhnya.

Alasan Ngabalin menyebut, lima manusia ini sebagai manusia setengah dewa karena menurutnya mereka adalah manusia yang sudah selesai dengan duniawi dan memilih berbakti bagi negara.

"Itulah kenapa saya selalu bilang, ini 'manusia-manusia setengah dewa', 50-70 persen sifat-sifat kenabian tentang akhlak ini sudah mereka miliki. Kalau kita ini kan masih jauh," tutupnya.