Polda Sulsel Minta LBH Makassar Ajukan Bukti Baru Pemerkosaan 3 Anak di Luwu Timur, Sebut Berita Media <i>Mainstream</i> Hoaks
Kabid Humas Polda Sulsel Kombes E Zulpan.ANTARA

Bagikan:

MAKASSAR - Polda Sulawesi Selatan mempersilakan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar mengajukan bukti baru terkait kasus rudapaksa atau dugaan pencabulan dan pemerkosaan terhadap ketiga anak oleh ayahnya SA di Kabupaten Luwu Timur, usai dikeluarkan SP3 pada 2019, kemudian kembali viral di media sosial.

"Karena LBH juga ada dalam tim pelapor, maka kami terbuka manakala keluarga korban ingin membuka kasus ini, harus ada bukti (baru) yang diajukan kepada penyidik," kata Kabid Humas Polda Sulsel Kombes E Zulpan kepada wartawan di Makassar dikutip Antara, Jumat, 8 Oktober.

Polda Sulsel saat ini sudah terbuka dengan memberikan ruang kepada LBH sebagai pendamping hukum pelapor untuk mengajukan bukti baru atas kasus tersebut, agar bisa ditindaklanjuti.

"Kami terbuka sekarang, apabila korban dan LBH punya bukti baru silakan berikan kepada kami, maka kami akan tindaklanjuti," katanya.

Kombes Zulpan menjelaskan untuk membuka kasus melalui gugatan harus menyertakan bukti baru dan mempersilakan LBH mengajukannya. Namun apabila LBH Makasssar menilai Polri tidak profesional, langkah hukum ada dalam aturan Polri yakni mempraperadilankan penyidiknya.

Pihaknya juga mempersilakan apabila pihak keluarga yang tidak menerima atas putusan dikeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3) Polres Luwu Timur pada 2019 lalu, bisa mengajukan langkah hukum lain.

"Apabila keluarga korban ini tidak menerima, bisa lakukan praperadilan," kata Kombes Zulpan.

Kendati peluang praperadilan itu terbuka, karena menganggap penyelidikan itu tidak benar dimata mereka, tetapi jangan salah, penyidik juga bisa menuntut balik bilamana kasus ini tidak terbukti.

Saat ditanyakan bisa-tidaknya digunakan visum pembanding dari rumah sakit lain untuk dijadikan novum atau alat bukti baru, kata dia, proses visum hanya bisa diterbitkan oleh kepolisian. Artinya, surat kepolisian kepada rumah sakit tertentu, seusai dengan prosedur hukum yang berlaku.

"Visum ini siapa, visum dalam proses pidana. Katakan di cabuli harus dari Polri yang menerbitkan surat permintaan visum itu kepada rumah sakit," kata Kombes Zulpan.

Kasus dugaan rudapaksa terhadap tiga anak di Lutim, ungkap Zulpan, memang sudah ada hasil visum bahkan dua kali. Pertama di Puskesmas Malili, namun tidak mempercayai, kemudian dilaksanakan kedua kalinya di Rumah Sakit Bayangkara Makassar, hasilnya sama, tidak ada tanda kerusakan organ seksual pada anak.

"Bagaimana kalau tidak ada hasil visum, polisi mau lakukan pemeriksaan apa kepada bapaknya, tidak bisa. Bahkan hasil visumnya (kerusakan organ seksual) tidak ada, ini harus dipahami, jangan termakan hoaks," katanya.

Kombes Zulpan menyampaikan, apa yang beredar di media sosial maupun dikutip media arus utama terkait artikel yang beredar, itu adalah tidak benar alias hoaks.

"Jelas hoaks donk, ini judulnya anak saya diperkosa, padahal ini tidak diperkosa bahkan dicabuli pun tidak, bagaimana dia bisa bilang diperkosa. Anak ini umur tiga tahun masa diperkosa, lima tahun, tujuh tahun. Bahasanya sudah keliru kan, dia tahu dari mana diperkosa," katanya menyinggung produk jurnalistik tersebut.

Sebelumnya, SA melaporkan mantan suaminya RA terkait dugaan kekerasan seksual terhadap ketiga anak kandungnya masing-masing berinisial AL, MR, dan AL, pada 2019 lalu. Belakang kasusnya dihentikan polisi karena tidak cukup bukti, dan kasus ini kembali mencuat pada Oktober 2021 karena viral di media sosial terkait proses SP3.

Tim penasihat hukum dari LBH Makassar menilai, ada kejanggalan dalam penyelidikan pada kasus itu, sehingga harus dibuka kembali.

"Polisi punya kewenangan. Makanya, kami mendesak sekali lagi Polri menindak lanjuti apa menjadi temuan kami yang sudah dilaporkan di Polda Sulsel agar bisa dibuka kembali dan diambil alih untuk ditindaklanjuti, agar para anak-anak bisa mendapatkan keadilan," paparnya penasehat pelapor, Rezky Pratiwi dari LBH Makassar, kepada wartawan.