Dugaan Gratifikasi Muncul Setelah Ketua KPK Gunakan Helikopter Milik Perusahaan Swasta
Ketua KPK Firli Bahuri (Foto: Dokumentasi Humas KPK)

Bagikan:

JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menduga Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menerima gratifikasi dari pihak tertentu.

Dugaan ini muncul, setelah Firli dilaporkan oleh Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) ke Dewan Pengawas KPK karena menggunakan helikopter berkode PK-JTO milik perusahaan swasta untuk kepentingan pribadinya, yaitu melakukan ziarah kubur makam orang tuanya di Baturaja.

"Jika helikopter ini merupakan fasilitas dari pihak tertentu maka kuat dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi berupa penerimaan gratifikasi," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada VOI, Rabu, 24 Juni.

Atas dugaan tersebut, ICW mendesak KPK melakukan penyelidikan lebih lanjut. Sehingga, dapat diketahui siapa yang memberikan fasilitas helikopter itu, apa motifnya, dan apakah pihak yang memberikan fasilitas tersebut tengah tersangkut kasus yang ditangani oleh lembaga antirasuah tersebut.

"Jika penyelidikan KPK itu membuahkan hasil, maka Komjen Firli Bahuri dapat dikenakan Pasal 12 B UU Tipikor dengan ancaman maksimal pidana penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun penjara," ungkap pegiat antikorupsi ini.

Kurnia juga meminta agar Dewan Pengawas KPK tak ragu untuk memanggil Firli. Apalagi, penggunaan helikopter tersebut diduga melanggar Kode Etik KPK pada bagian Integritas. 

Poin kode etik yang dimaksud Kurnia, tertulis dalam Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi pada poin 27. 

Poin yang mengatur soal integritas itu, menyebut tiap pegawai KPK dilarang menunjukkan gaya hidup hedonisme. "Tidak menunjukkan gaya hidup hedonisme sebagai bentuk empati kepada masyarakat terutama kepada sesama Insan Komisi," bunyi aturan tersebut.

"Sehingga, Dewan Pengawas harusnya tidak lagi ragu untuk dapat memanggil yang bersangkutan kemudian mendalami terkait dengan dugaan pelanggaran ini," tegas Kurnia.

Sebelumnya, Koordinator MAKI Boyamin Saiman menduga Firli melanggar kode etik dengan menggunakan helikopter mewah milik sebuah perusahaan swasta untuk perjalanan dari Palembang ke Baturaja pada Sabtu, 20 Juni.

Menurut dia, penggunaan helikopter ini sebenarnya tidak perlu. Karena, menurut Boyamin, perjalanan dari Palembang ke Baturaja hanya butuh waktu empat jam perjalanan darat. 

Sehingga, Firli tak seharusnya menggunakan helikopter tapi bisa menggunakan mobil. "Hal ini bertentangan dengan kode etik pimpinan KPK dilarang bergaya hidup mewah," ungkapnya.

Keyakinan Boyamin bahwa Firli menunjukkan gaya hidup mewah makin menjadi karena mengetahui helikopter yang digunakan mantan Deputi Penindakan KPK itu, berjenis helimousin. Sebab, helikopter ini pernah digunakan oleh motivator Tung Desem Waringin.

"Bahwa Helikopter yang digunakan adalah jenis mewah (helimousine) karena pernah digunakan Tung Desem Waringin yang disebut sebagai Helimousine President Air," pungkasnya.