Alasan Angka Kematian Dikeluarkan dari Indikator Penanganan COVID-19: Kasus Kematian Terlambat Dilaporkan
Ilustrasi (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menkomarves) Luhut Binsar Pandjaitan, lewat juru bicaranya, Jodi Mahardi menjelaskan alasan pemerintah mengeluarkan angka kematian dari indikator penanganan COVID-19 di tiap daerah.

Jodi menjelaskan, saat ini banyak daerah yang terlambat melaporkan kasus kematian COVID-19 kepada pemerintah selama beberapa minggu terakhir. Pencatatan angka kematian yang terlambat dilaporkan menimbulkan ketidakakuratan penentuan level PPKM.

"Banyak angka kematian yang ditumpuk-tumpuk, atau dicicil pelaporannya, sehingga dilaporkan terlambat. Jadi terjadi distorsi atau bias pada analisis, sehingga sulit menilai perkembangan situasi satu daerah," kata Jodi dalam keterangannya, Rabu, 11 Agustus.

Lagipula, kata Jodi, angka kematian yang dikeluarkan dalam indikator asesmen penentuan level PPKM dilakukan untuk sementara waktu. "Bukan dihapus, hanya tidak dipakai sementara waktu," ucapnya.

Untuk mengatasi hal ini, Jodi menegaskan pemerintah terus mengambil langkah-langkah perbaikan untuk memastikan data yang akurat. 

"Sedang dilakukan clean up data, diturunkan tim khusus untuk ini. Nanti  akan diinclude (dimasukkan) indikator kematian ini jika data sudah rapi," jelasnya.

Sembari menunggu proses itu, Jodi menuturkan bahwa untuk sementara pemerintah masih menggunakan lima indikator lain untuk asesmen, yakni seperti BOR (tingkat pemanfaatan tempat tidur), kasus konfirmasi, perawatan di RS, pelacakan (tracing), pengetesan (testing), dan kondisi sosio ekonomi masyarakat.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes Widyawati menjelaskan, peristiwa kematian pasien COVID-19 dalam kurun sepekan hingga sebulan terakhir di daerah terakumulasi dan baru dilaporkan kepada Kemenkes.

Akibatnya, kata Widyawati, Kemenkes merilis angka kematian harian akibat COVID-19 yang cenderung tinggi dalam tiga pekan terakhir. Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki kontribusi paling besar dalam angka kematian di tingkat nasional.

Widyawati mengatakan, keterlambatan dalam pembaruan pelaporan dari pemerintah daerah (Pemda) akibat keterbatasan tenaga kesehatan, dalam melakukan input data saat terjadi lonjakan kasus COVID-19 di daerah beberapa pekan lalu.

"Tingginya kasus di beberapa pekan sebelumnya membuat daerah belum sempat memasukkan atau memperbarui data ke sistem National All Record (NAR) Kemenkes. Lonjakan anomali angka kematian seperti ini akan tetap kita lihat, setidaknya selama dua pekan ke depan," tutur Widyawati.

Pada Senin, 9 Agustus, Luhut menyatakan pemerintah akan menghapus angka kematian dari indikator penanganan COVID-19. Penyebabnya karena masalah dalam input data yang disebabkan akumulasi dari kasus kematian di beberapa pekan sebelumnya.

"Evaluasi tersebut kami lakukan dengan mengeluarkan indikator kematian dalam penilaian karena kami temukan adanya input data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang sehingga menimbulkan distorsi dalam penilaian," tutur Luhut.

Alasan ini dianggap tak masuk akal. Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman mengatakan problem data adalah masalah lama. Pemerintah tak terlihat risau selama ini. Padahal hingga kini Indonesia belum memiliki data faktual. Selain itu pendataan juga tidak memenuhi skala penduduk dan eskalasi pandemi.

"Karena bicara misalnya angka kasus harian saja, itu sengkarutnya banyak. Baik dari sisi bahwa tes itu tidak bisa realtime, tetap ada. Tes itu kan bukan hari itu, tapi yang berapa hari kemudian," tutur Dicky kepada VOI.

Pun secara logika, ketika ada masalah pendataan, seharusnya diperbaiki, bukan justru menghilangkannya. Dicky menjelaskan angka kematian adalah indikator wajib. Menghilangkannya akan berdampak sangat serius. Strategi penanganan bisa memburuk. Dampaknya celaka bagi masyarakat.

"Dampaknya sangat serius, ya, artinya kita akan buta terhadap situasi. Indikator kematian adalah indikator wajib. Jadi indikator pandemi itu ada indikator awal dan akhir. Indikator awal adalah kasus harian, TPR (test positivity rate). Kalau indikator akhir itu selain hunian rumah sakit, ICU, itu kematian," tutur Dicky.