Bagikan:

JAKARTA – Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai sentimen positif dari pasar bisa muncul bila memang Sri Mulyani mengundurkan diri dari Kabinet Merah Putih.

Rumor mengenai mundurnya Sri Mulyani beredar di media sosial Instagram tak lama setelah indeks harga saham gabungan (IHSG) anjlok, pekan lalu. Dalam sebuah video, Sri Mulyani dinarasikan mundur karena gerah kewenangan Kemenkeu terus dilucuti. Namun, kabar itu dibantah Sri Mulyani yang menegaskan masih tetap fokus menjalankan tugas negara dan kepercayaan presiden untuk mengelola APBN dan keuangan negara secara profesional.

Menurut Bhima, cara kerja Sri Mulyani dianggap kurang cocok dengan visi Presiden Prabowo Subianto. Salah satu contohnya adalah Sri Mulyani tidak mampu mengendalikan penerimaan pajak negara dan mengerem tumpukan utang sejak era pemerintah Joko Widodo (Jokowi).

“Akhirnya, utang dari pemerintah yang sangat besar dan bunganya besar. Pemerintah paniklah di tahun 2025 sehingga dilakukan efisiensi anggaran yang besar, tanpa direncanakan. Bahkan, efisiensi sampai mengganggu pengangkatan CPNS dan PPPK. Ini menggerus popularitas Prabowo,” ungkapnya, Jumat 28 Maret 2025.

Dia berpendapat, keberadaan Sri Mulyani di Kabinet Merah Putih (KMP) sudah mulai tidak relevan. Terlebih, Sri Mulyani juga cenderung menunda pembentukan Badan Penerimaan Negara yang menjadi salah satu janji Prabowo saat kampanye.

“Padahal, dengan keberadaan Badan Penerimaan Negara, pemerintah bisa lebih fokus juga untuk menggenjot penerimaan pajak dan juga kepatuhan perpajakan. Jadi, pasar akan merespons positif,” tambah Bhima.

Meski demikian, dia juga tidak memungkiri kemungkinan pasar bereaksi negatif jika Sri Mulyani benar-benar mundur dari jabatan Menkeu. Apalagi, bila pengganti Sri Mulyani berasal dari kalangan politikus, bukan dari kalangan teknokrat.

Selain itu, bila Sri Mulyani memang mundur atau terkena reshuffle, maka penggantinya harus mampu berkomunikasi dengan pelaku pasar dan berani mendorong kebijakan-kebijakan progresif, seperti penerapan pajak karbon, penerapan pajak minum global dan membenahi insentif pajak yang tidak tepat sasaran.