Korban Tewas Warga Sipil Capai 612 Orang, Amerika Serikat Tambah Sanksi untuk Rezim Militer Myanmar
Petugas medis mengevakuasi pengunjuk rasa antikudeta militer Myanmar. (Twitter/@MizzimaNews)

Bagikan:

JAKARTA - Rezim militer Myanmar kian brutal dalam menghadapi pengunjuk rasa antikudeta 1 Februari. Di Kotapraja Taze, wilayah Sagaing, 11 warga sipil tewas dan sekitar 30 orang lainnya luka-luka dalam bentrokan dengan pasukan rezim militer.

Dengan menggunakan senjata api dan senapan angin rakitan, penduduk berusaha untuk mencegah tujuh truk penuh pasukan memasuki kota sekitar pukul 4 sore pada Hari Rabu.

Penduduk mengklaim pasukan itu dikerahkan untuk menindak protes anti-rezim harian di Taze, yang telah menarik puluhan ribu orang tetapi belum diserang oleh pasukan junta hingga kemarin.

"Pengunjuk rasa Taze bertempur melawan pasukan menggunakan senjata api otomatis dan senapan sniper. Setelah warga sipil mundur, pasukan dikerahkan di kota itu pada Rabu malam," kata seorang penduduk kepada The Irrawaddy.

Penduduk mengatakan orang-orang meninggalkan kota dan yang terluka mencari perawatan di tempat lain untuk menghindari pasukan junta. Pada hari Kamis, Taze kosong di tengah pengumuman pengeras suara oleh militer yang mengancam akan menembak siapa pun yang terlihat di jalan.

Terpisah, Protes di Kotapraja Kale, Wilayah Sagaing, juga menghadapi serangan fajar untuk menghilangkan penghalang jalan pengunjuk rasa pada hari Rabu.

Selama penggerebekan, rezim militer Myanmar menggunakan bahan peledak dan peluru tajam terhadap pengunjuk rasa yang dipersenjatai dengan senjata api rakitan, senapan angin dan ketapel, menurut pengunjuk rasa.

Sekitar 12 pengunjuk rasa tewas, sebagian besar oleh bahan peledak, dan lebih dari 12 luka-luka. Tiga warga sipil yang tidak memprotes ditembak mati dan tubuh mereka dibawa pergi oleh pasukan junta, kata seorang sumber.

"Mereka menggunakan bahan peledak dan tembakan otomatis terhadap pengunjuk rasa. Itu tidak bisa diterima. Ini bukan perang yang sebenarnya," ungkap seorang saksi mata.

Dengan bertambahnya korban jiwa pada Kamis kemarin, jumlah warga sipil yang tewas selama unjuk rasa antikudeta militer yang digelar mulai awal Februari lalu mencapai 612 orang.

Terpisah, Amerika Serikat kembali menambahkan sanksi terhadap rezim militer Myanmar, seiring dengan terus bertambahnya korban jiwa warga sipil. 

Terbaru, melalui Departemen Keuangan, Amerika Serikat menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan permata milik Myanmar, untuk membatasi kemampuan rezim militer dalam menghasilkan pendapatan.  

"Tindakan hari ini menyoroti komitmen Departemen Keuangan untuk menolak sumber pendanaan militer Burma, termasuk dari perusahaan-perusahaan milik negara utama di seluruh Burma," kata Andrea Gacki, direktur Kantor Pengawasan Aset Luar Negeri Departemen Keuangan dalam sebuah pernyataan melansir Reuters.

Amerika Serikat, bersama negara-negara Barat lainnya, telah memberikan sanksi kepada para jenderal yang terlibat dalam kudeta dan beberapa anggota keluarga mereka, serta dua konglomerat yang dikendalikan oleh militer Myanmar. Para pemimpin junta sejauh ini menolak untuk berbalik arah.

"Myanma Gems Enterprise, bagian dari kementerian pertambangan negara itu, ditempatkan di daftar Warga Negara yang Ditandai Khusus Departemen Keuangan," sambung pernyataan itu.

Langkah tersebut menghalangi orang Amerika Serikat untuk berbisnis dengan entitas tersebut, yang mengeluarkan izin dan lisensi untuk menambang batu mulia dan mengumpulkan pendapatan dari penjualan permata dan giok.

Myanmar adalah sumber utama giok dunia, batu yang banyak dicari di China, sekaligus sumber utama batu rubi serta permata langka lainnya.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken mengatakan dalam sebuah pernyataan, daftar hitam itu dilakukan ketika para pemimpin rezim militer Myanmar menghadiri sebuah emporium permata di ibu kota Myanmar, Naypyitaw awal pekan ini. 

"Amerika Serikat akan terus meningkatkan tekanan pada aliran pendapatan rezim sampai menghentikan kekerasannya, membebaskan semua yang ditahan secara tidak adil, mencabut darurat militer dan keadaan darurat nasional, menghapus pembatasan telekomunikasi, dan mengembalikan Burma ke jalur demokrasi," tegas Blinken.

Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus memantau situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.