Melihat Alasan Pemerintah Menyebut Terorisme Tak Terkait dengan Agama
Aparat kepolisian bersenjata lengkap berjaga-jaga usai kejadian bom bunuh diri di Gereja Katedral, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, (Foto: Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Sejumlah pejabat tak terkecuali Presiden Joko Widodo (Jokowi) langsung menyampaikan narasi jika aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar pada Minggu, 28 Maret lalu tak terkait agama. Narasi ini kemudian menimbulkan kritikan dari berbagai pihak, terutama warganet yang membicarakan dua pelaku pengeboman tersebut.

Beberapa jam setelah pengeboman terjadi, Presiden Jokowi langsung meresponsnya dengan mengatakan kejadian teror yang terjadi di gereja tersebut tidak ada kaitannya dengan agama. 

"Terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan tidak ada kaitannya dengan agama apapun. Semua ajaran agama menolak terorisme apapun alasannya," kata Presiden Jokowi saat itu.

Dia mengutuk keras kejadian tersebut dan memerintah aparat penegak hukum untuk mengusut jaringan pelaku sampai ke akarnya. Tak hanya itu, dia mengatakan, seluruh aparat negara tidak akan membiarkan tindakan terorisme seperti yang terjadi di gereja tersebut. 

Mantan Gubernur DKI Jakarta ini meminta masyarakat tetap tenang untuk menjalankan ibadah karena negara menjamin keamanan umat beragama untuk beribadah tanpa rasa takut. "Saya mengajak semua anggota masyarakat untuk bersama-sama memerangi terorisme, radikalisme yang bertentangan dengan nilai-nilai agama, nilai-nilai luhur kita sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan dan kebhinekaan," tegasnya.

Tak hanya Jokowi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menyatakan narasi yang serupa. Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas meminta peristiwa peledakan bom di Gereja Katredal Makassar tak dikaitkan dengan agama ataupun suku tertentu.

“MUI meminta supaya masalah ini jangan dikaitkan dengan agama dan atau suku tertentu di negeri ini, karena hal demikian akan membuat semakin rumit dan memperkeruh suasana,” tegas Anwar.

Bukan hanya Jokowi dan MUI yang menyampaikan narasi senada. Terbaru, Wakil Presiden Ma’ruf Amin juga menyatakan hal yang serupa dan menyebut tak ada satupun agama yang menoleransi tindakan keji tersebut.

“Apalagi sampai membunuh orang lain atau bahkan membunuh diri sendiri. Itu tidak ada (agama yang menoleransi, red),” ujarnya pada Selasa, 30 Maret.

Narasi ini mungkin boleh saja dikritisi oleh warganet dan masyarakat pada umumnya. Namun, pengamat terorisme dari Universitas Indonesia Ridlwan Habib menilai, narasi semacam ini memang perlu dilakukan walau klise dan basi. 

“Mengapa denial terorisme tidak terkait dengan agama itu sangat penting walaupun terkesan klise dan basi? (Karena, red) risiko skenario Suriah bisa terjadi,” kata Ridlwan dalam keterangan tertulisnya kepada VOI.

Dalam menjalankan pekerjaannya, sambungnya, kelompok teroris punya aturan yang bernama Miftahul Siro’. “Miftah itu kunci atau pembuka. Siro’ itu adalah konflik. Jadi mereka baru berhasil jika sebuah negara itu bertengkar,” jelasnya.

Adapun skenario menciptakan perang yang dilakukan oleh para teroris telah berhasil di Irak, Suriah, hingga Marawi. Kota-kota yang tadinya indah ini, kata Ridlwan, kini porak poranda karena konflik hingga dikuasai teroris karena terhasut isu agama yang tidak jelas kebenarannya.

Sehingga, narasi terorisme tidak terkait agama penting untuk disampaikan oleh pejabat negeri ini agar masyarakat lainnya tak terjustifikasi. “Mayoritas umat Islam jelas menolak teror, serangan berdalih jihad, dan lainnya. Sehingga, kelompok kecil ini harus dikeluarkan dari populasi, diacknowledge,” tegasnya.

Sebab, jika agama secara terang benderang diakui pemerintah menjadi latar belakang terjadinya tindak terorisme maka narasi yang ingin dicapai kelompok ini menjadi terlaksana. Selanjutnya, hal ini tentu membuat kisruh suasana di dalam negeri.

“Rakyat debat, politik bergolak. Kisruh,” ungkapnya.

Walau narasi ini sudah tepat, namun, masih ada hal yang belum mendapat perhatian serius dari pemerintah maupun kelompok agama tertentu. Salah satunya, adalah menyembuhkan para pelaku maupun narapidana kasus terorisme yang harus merasakan dinginnya jeruji besi.

“Sangat jarang kelompok Islam kanan mayoritas melakukan upaya terapi pada teroris di penjara Bahkan banyak yang terjebak narasi teroris itu rekayasa dan ini problem yang serius,” katanya.

Dia menilai, jika hanya narasi yang itu-itu saja tanpa ada peran pemerintah dalam melakukan deradikalisme wajar banyak masyarakat yang merasa bosan dan acuh. Apalagi, perihal tindakan teror semacam ini juga ditanggapi resah oleh kelompok agama tertentu.

“Enggak apa-apa denial tapi ‘obati’ mereka yang terpapar. Sentuh hatinya ke jalan yang benar,” pungkasnya.