Amerika Serikat Veto Rancangan Resolusi DK PBB Soal Keanggotaan Penuh Palestina, Presiden Abbas: Tidak Adil
Wakil Dubes AS untuk PBB Robert Wood saat melakukan veto dalam pertemuan DK PBB. (Twitter/@UN_News_Centre)

Bagikan:

JAKARTA - Amerika Serikat menggunakan hak veto dalam pemungutan suara Rancangan Resolusi Dewan Keamanan PBB terkait keanggotaan penuh bagi Palestina pada pertemuan di Markas PBB New York, Amerika Serikat Hari Kamis.

Dewan memveto rancangan resolusi yang merekomendasikan kepada Majelis Umum PBB yang beranggotakan 193 negara agar "Negara Palestina diterima menjadi anggota" PBB. Padahal, rancangan itu mendapatkan dukungan 12 negara anggota dewan lainnya, sementara Inggris dan Swiss memilih abstain.

"Amerika Serikat terus mendukung solusi dua negara. Pemungutan suara ini tidak mencerminkan penolakan terhadap negara Palestina, namun merupakan pengakuan bahwa hal ini hanya akan terjadi melalui perundingan langsung antar pihak," kata Wakil Duta Besar AS untuk PBB Robert Wood kepada dewan, melansir Reuters 19 April.

Sementara itu, Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengecam veto Negeri Paman Sam dalam pernyataannya sebagai: "hal yang tidak adil, tidak etis, dan tidak dapat dibenarkan."

Duta Besar Palestina untuk PBB Riyad Mansour mengatakan kepada dewan setelah pemungutan suara: "Fakta bahwa resolusi ini tidak disahkan tidak akan mematahkan keinginan kami dan tidak akan menggagalkan tekad kami. Kami tidak akan berhenti dalam upaya kami."

Dorongan Palestina untuk menjadi anggota penuh PBB terjadi enam bulan setelah perang antara Israel dan militan Palestina Hamas di Jalur Gaza, dan ketika Israel memperluas permukiman di Tepi Barat yang diduduki, yang dianggap ilegal oleh PBB.

Di sisi lain, Menteri Luar Negeri Israel Israel Katz memuji Amerika Serikat yang melakukan hak veto.

Sedangkan Duta Besar Israel untuk PBB Gilad Erdan saat berbicara kepada 12 anggota DK PBB yang mendukung rancangan resolusi tersebut mengatakan: "Sangat menyedihkan karena suara Anda hanya akan semakin menguatkan penolakan warga Palestina dan membuat perdamaian menjadi hampir mustahil."

Palestina saat ini merupakan negara pengamat non-anggota, sebuah pengakuan de facto atas status kenegaraan yang diberikan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 2012.

Namun permohonan untuk menjadi anggota penuh PBB harus disetujui oleh Dewan Keamanan dan setidaknya harus disetujui oleh dua pertiga negara anggota dari Majelis Umum.

"Kami percaya bahwa pengakuan terhadap negara Palestina tidak boleh dilakukan pada awal proses baru, namun tidak harus pada akhir proses. Kita harus mulai dengan memperbaiki krisis yang terjadi di Gaza," kata Duta Besar Inggris untuk PBB Barbara Woodward kepada dewan.

Dewan Keamanan PBB telah lama mendukung visi dua negara yang hidup berdampingan dalam batas-batas yang aman dan diakui. Palestina menginginkan sebuah negara di Tepi Barat, Yerusalem Timur dan Jalur Gaza, seluruh wilayah yang direbut Israel pada tahun 1967.

Duta Besar Aljazair untuk PBB, Amar Bendjama, sebelum pemungutan suara berargumen, diterimanya Palestina di PBB akan memperkuat solusi dua negara, bukan melemahkan solusi dua negara, menambahkan: "Perdamaian akan terwujud jika Palestina diikutsertakan, bukan karena disingkirkannya."

Terpisah, kelompok militan Hamas mengutuk sikap AS dalam sebuah pernyataan dan menyerukan komunitas internasional untuk "mendukung perjuangan rakyat Palestina dan hak sah mereka untuk menentukan nasib mereka."

"Kegagalan mencapai kemajuan menuju solusi dua negara hanya akan meningkatkan ketidakstabilan dan risiko bagi ratusan juta orang di kawasan ini, yang akan terus hidup di bawah ancaman kekerasan," kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres kepada dewan sebelumnya.