Panglima Laot: Aturan PNBP Perikanan Memberatkan Nelayan Aceh
Ilustrasi - Nelayan sedang mengangkat ikan hasil tangkapan di PPS Lampulo Banda Aceh (ANTARA FOTO/Irwansyah Putra)

Bagikan:

BANDA ACEH - Lembaga Panglima Laot Aceh menyatakan ketentuan pemberlakuan ketetapan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari hasil tangkapan perikanan sangat memberatkan nelayan di Aceh.

"Ketentuan PNBP mulai dari 5 persen sampai 10 persen itu sangat memberatkan nelayan kita di Aceh," kata Ketua Panglima Laot Aceh Miftach Tjut Adek, di Banda Aceh dilansir ANTARA, Selasa, 22 Agustus.

Panglima Laot merupakan lembaga adat laut Aceh yang membawahi nelayan di Aceh. Semua permasalahan yang berhubungan dengan laut di Aceh tidak terlepas dari wewenang lembaga tersebut.

Miftach menjelaskan pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang juga berlaku pada kementerian kelautan dan perikanan.

Dengan ketentuan tersebut, lahir ketetapan besaran PNBP atau retribusi yaitu lima persen untuk setiap trip bagi kapal 5GT sampai 60GT, dan 10 persen untuk setiap trip bagi kapal di atas GT60, atau yang melaut di atas 12 mil.

Kemudian, kata dia, sebagai turunan dari PP 85 Tahun 2021 itu, kini juga telah dikeluarkan Keputusan Menteri (Kepmen) KKP RI Nomor 140 tahun 2023 tentang Harga Acuan Ikan.

Pihaknya meminta semua kebijakan yang diberlakukan tersebut perlu dibicarakan kembali, termasuk untuk harga acuan ikan. Kalaupun diterapkan maka harus mengacu kepada kemampuan nelayan di Aceh yang masih tertinggal dibanding provinsi lain di Indonesia.

"Kebijakan atau regulasi itu untuk nelayan Aceh jangan diterapkan dulu oleh Pemerintah Pusat, dan semua regulasi tersebut harus dibicarakan dulu dengan DPRA dan Pemerintah Aceh. Artinya jangan diterapkan dulu sebelum dibahas," katanya.

Panglima Laot juga meminta untuk harga acuan ikan di Aceh harus dibedakan dengan daerah lain, karena nelayan Aceh lebih banyak mengeluarkan modal untuk kebutuhan kapal, di mana, nelayan Aceh mengambil kebutuhan onderdil, mesin kapal harus Medan Sumatera Utara, sehingga mengeluarkan modal yang tinggi untuk beban transportasi.

Dia mencontohkan, jika kebutuhan nelayan di Medan untuk satu barang dibeli seharga Rp10 ribu, maka sampai ke Aceh naik menjadi Rp20 ribu. Kondisi tersebut sangat menyulitkan nelayan Aceh.

"Posisi nelayan kita itu menyulitkan, sudah ikan lebih murah dibandingkan Sumatera Utara lebih murah, ditambah lagi dengan barangnya lebih mahal," katanya.

Karena, lanjut dia, harga ikan di Aceh berbeda dengan Sumut sampai 50 persen lebih murah. Maka kalau harga acuannya sama, secara otomatis ketetapan PNBP itu lebih memberatkan nelayan Aceh.

"Kita berharap Menteri KKP RI dapat meninjau ulang harga acuan di Aceh. Sehingga nantinya PNBP bagi nelayan Aceh juga lebih rendah dan tidak memberatkan," ujar Miftach.

Selain itu, ia juga meminta untuk permasalahan administrasi perkapalan atau perikanan di Aceh tetap dipertahankan sebagaimana yang telah berlaku selama ini.

"Harapan nelayan di Aceh semua terkait administrasi tetap berjalan seperti yang telah diterapkan selama ini, artinya jangan ada perubahan," ujar Miftach.

Terkait