BMKG Sebut Pertanian Sektor Paling Terdampak Perubahan Iklim
Potensi lumbung pangan di lahan padi eks-gambut yang digarap masyarakat di Desa Terusan Makmur, Kabupaten Kapuas, Kalteng. (dok Kementerian Pertanian)

Bagikan:

JAKARTA - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan sektor pertanian menjadi paling terdampak serius perubahan iklim.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, perubahan pola curah hujan dan kenaikan suhu udara menyebabkan produksi pertanian menurun secara signifikan.

"Dampak perubahan iklim yang demikian besar memerlukan upaya aktif untuk mengantisipasinya melalui strategi mitigasi dan adaptasi. Jika tidak, maka ketahanan pangan nasional akan terancam," ujarnya saat pembukaan Sekolah Lapang Iklim (SLI) Komoditas Buah Jeruk di Balai Desa Bringin Kecamatan Bayan Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah (Jateng), dikutip dari keterangannya, Selasa 1 Agustus.

Menurut Dwikorita, petani sebagai ujung tombak pertanian harus memiliki bekal ilmu pengetahuan agar dapat memahami fenomena cuaca dan iklim beserta perubahannya.

"Dengan mengetahui lebih dini, petani dapat melakukan perencanaan mulai dari penyesuaian waktu tanam, penggunaan varietas unggul tahan kekeringan, pengelolaan air, dan lain sebagainya," tuturnya.

Melalui SLI, Dwikorita mengatakan BMKG berupaya membantu petani memahami informasi iklim. Pasalnya, pertanian merupakan kegiatan yang dilakukan di tempat terbuka sehingga sangat berkaitan dengan cuaca dan iklim.

Harapannya, petani dan tenaga penyuluh pertanian bisa memanfaatkan informasi dan prakiraan cuaca dengan baik serta mampu beradaptasi dengan situasi cuaca dan iklim kekinian.

"SLI ini menjadi bagian dari komitmen BMKG memajukan pertanian Indonesia. Harapan kami, setelah petani dibekali ilmu tentang cuaca dan iklim maka ke depan volume produksi dan kualitas produk semakin baik sehingga membawa kesejahteraan bagi petani," katanya.

Dwikorita juga menyampaikan fenomena El Nino dan IOD Positif yang terjadi membuat musim kemarau tahun ini dapat menjadi lebih kering dan curah hujan pada kategori rendah hingga sangat rendah.

Jika biasanya curah hujan berkisar 20 mm per hari, maka pada musim kemarau ini angka tersebut menjadi sebulan sekali atau bahkan tidak ada hujan sama sekali.

"Puncak kemarau kering ini diprediksi akan terjadi di bulan Agustus hingga awal bulan September dengan kondisi akan jauh lebih kering dibandingkan tahun 2020, 2021 dan 2022," paparnya.

Dalam kegiatan SLI itu diikuti puluhan petani jeruk serta para penyuluh pertanian. Hadir langsung antara lain Anggota Komisi V DPR RI, Sujadi, Anggota DPRD Jateng M Zaenudin, Wakil Bupati Purworejo Yuli Hastuti, Ketua DPRD Purworejo Dion Agasi Setyabudi, serta Forkopimcam Bayan. Sementara Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo hadir secara virtual.