FKPT Kaltara: Berdasarkan Riset, Ulama Berperan Besar Tangkal Radikalisme dan Terorisme
Narapidana terorisme Poso Muhammad Basri bin Barjo alias Bagong bersumpah ikrar setia kepada NKRI di Lapas Nusakambangan pada Oktober 2021. (Antara)

Bagikan:

KALTARA - Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalimantan Utara (Kaltara) Datu Iskandar Zulkarnaen mengungkapkan dai, ulama atau penceramah agama dapat mengikis radikalisme dan terorisme.

Hal itu disampaikan Iskandar dalam acara Peningkatan Kompetensi Penceramah Agama oleh Kemenag (Kementerian Agama) Kaltara yang melibatkan 50 dai se-Kaltara.

"Peran dai sangat strategis karena berdasar riset Insep (Indonesian Institute for Society Empowerment) motif terbesar terjadi terorisme adalah ideologi agama yang keliru," kata Iskandar di Tarakan, dikutip dari Antara, Kamis 9Juni.

Dia mengutip riset Insep belum lama ini bahwa motif terbesar adalah ideologi agama yang keliru 45,5 persen, solidaritas komunal 20 persen, "mob mentality" (ikut-ikutan karena pengaruh kelompok) 12,7 persen, balas dendam 10,9 persen, situasional 9,1 persen dan separatisme 1,8 persen.

Peran dai sangat diharapkan dalam meluruskan ideologi agama menyimpang karena mereka yang lebih paham tentang ajaran Islam yang sebenarnya.

"Sebut saja jihad fisabilillah, dalam ajaran Islam memang diajarkan. Dalam konteks yang benar jihad memiliki pengertian luas, jihad dalam menuntut ilmu, jihad dalam melaksanakan ibadah, dan jihad dalam patuh terhadap orangtua," katanya.

Namun, kata dia, dalam ideologi menyimpang jihad digunakan untuk pembenaran melakukan bom bunuh diri, dan berperang melawan kelompok yang tidak sepaham dengan keyakinan mereka.

"Oleh sebab itu, mengoptimalkan peran dai, sejalan dengan tiga strategi pencegahan terorisme, yakni strategi kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi atau kontra ideologi, narasi dan propaganda serta strategi deradikalisasi," paparnya.

Sahir Hais Muhayyang salah satu dai peserta acara yang digelar selama tiga hari dari 8-10 Juni 2022 itu mengakui tentang pentingnya peran penceramah agama dalam menangkal radikalisme dan terorisme.

"Hambatan terbesar bagi dai adalah menghadapi dai lain, bukan jamaah. Ini fakta, ada dai bertugas sebagai tukang siram air agar suasana sejuk namun di sisi lain ada dai seperti tukang kipas," katanya.

Celakanya, bagi mereka yang sudah terkena kipas, terpapar radikalisme memiliki hambatan lebih berat untuk meluruskan pemahamannya ketimbang bagi mereka yang merasa kurang berilmu.

Ia berpendapat jika pemerintah perlu memperkuat posisi organisasi Islam yang menjadi kekuatan Indonesia selama ini, terutama NU dan Muhamadiyah dalam menangkal ideologi menyimpang.