Konsumsi Gula Berlebih Turunkan Tingkat Kebahagiaan, Benarkah? Berikut Penjelasannya
Ilustrasi makan cake belum tentu bikin bahagia (Unsplash/Louis Hansel)

Bagikan:

Makassar—Pada satu sisi, cake dan es krim adalah makanan lembut dan manis yang bisa menjadi ‘pelarian’ ketika stres atau butuh sedikit rileks. Namun di sisi buruk lainnya, asupan gula banyak diteliti dan berkaitan dengan kesehatan mental yang memengaruhi kebahagiaan seseorang.

Acuan kebahagiaan tentu kesehatan fisik serta kesejahteraan batin. Nah, Thomas Rutledge, Ph.D., seorang profesor residen di Departemen Psikiatri, Universitas California menggali lebih banyak informasi tentang efek asupan gula pada kesehatan mental.

Mulanya, gula berlebih yang dikonsumsi memicu diabetes, penyakit jantung, obesitas, kolesterol tinggi, dan hipertensi. Penelitian terbaru menemukan bahwa asupan gula berhubungan dengan kesehatan mental dan kebahagiaan seseorang.

Secara langsung, gula juga mampu merusak gigi. Tetapi seperti yang dipaparkan pada pembuka artikel ini, bahwa ilmu saraf menjelaskan gula dapat secara bersamaan membuat kita bahagia. Pada kerja neurokimia, gula menginduksi pernghargaan terhadap diri dan kenaikan dopamin.

Menurut Rutledge, semakin kita mengandalkan dopamin untuk melepaskan diri dari perasaan negatif, semakin sedikit tubuh mampu memproduksi serotonin. Sebagai neurotransmiter, serotonin bertanggung jawab atas perasaan puas, percaya diri, dan kepuasan.

Bersifat adiktif

Sebuah penelitian laboratorium dan ilmu saraf menunjukkan bahwa asupan gula tinggi buruk pada kesehatan mental. Pertama, ditemukan bahwa makanan manis bisa bersifat adiktif. Meski penemuan ini masih dalam perdebatan di kalangan ilmuwan tetapi memiliki mekanisme kerja yang jelas pada neuron.

Dilansir Psychology Today, Selasa, 25 Mei, gula dapat mengaktifkan jalur ‘hadiah’ untuk menghasilkan lebih banyak dopamin. Asupan gula tinggi dapat menyebabkan penurunan regulasi reseptor dopamin.

Kedua, kerusakan gigi dibuktikan secara ilmiah. Dan demensia berkontribusi pada penyakit Alzheimer. Penelitian dilakukan pada pasien demensia yang dilaporkan mengonsumsi gula lebih tinggi.

Ketiga, gula bisa menurunkan keragaman bakteri dan meningkatkan produksi mikroorganisme yang berkaitan dengan peradangan. Singkatnya, perubahan mikrobioma pada usus berkaitan juga dengan kecemasan, depresi, ADHD, autisme, dan demensia.

Keempat, insulin berkaitan dengan leptin. Ketika kadar gula tinggi atau tingkat insulin tinggi, sensitivitas otak terhadap leptin menurun. Leptin sendiri berfungsi mengirimkan sinyal rasa kenyang ke otak dan meningkatkan pengeluaran energi.

Kaitannya dengan kondisi mental, saat kadar leptin rendah maka emosi negatif akan dirasakan. Kelima, gula yang memengaruhi produksi serotonin dan dopamin bisa mengambil alih kesadaran atas meningkatnya rasa senang dan puas.

Ini terjadi apabila seseorang menggantungkan asupan gula untuk merasa lebih bahagia. Terjadi pula ketika konsumsi makanan dan minuman manis tak terkontrol, kebahagiaan serupa fatamorgana yang sesungguhnya dapat menurunkan kesehatan fisik serta memengaruhi stabilitas mental.

Artikel ini pernah tayang sebelumnya di VOI.id, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!