MAKASSAR - Proses Valentino Rossi menjadi pembalap kelas dunia tentunya bukanlah hal mudah. Rossi bertumbuh di lingkungan yang menganggap balap motor sebagai olahraga rendahan. Namun, Rossi mendobrak semua batas tersebut.
Pemilik nomor 46 ini berpendapat tidak ada hal paling penting di dunia selain jadi pembalap. Kerja kerasnya pun terbayar. Ia meraih juara di semua kelas motoGP. Kesuksesan itu membuat seisi kota kelahirannya, Tavullia berterima kasih kepada Rossi.
BACA JUGA:
Siapakah sosok berpengaruh dalam hidup Valentino Rossi? Tiada lain ialah ayahnya, Graziano Rossi. Sang ayah mempunyai andil besar dalam mengenalkan sekaligus menanamkan kecintaan seni balap motor pada Rossi kecil. Apalagi ayahnya dikenal sebagai pembalap motor handal.
Saking cintanya terhadap dunia balapan, kelak ketika memiliki anak Graziano ingin menyematkan nama sahabatnya Valentino yang telah meninggal dunia. Sahabatnya itu punya jasa besar. Valentino telah membantu Graziano menang dalam balapan motor 250cc Grand Prix.
Warisi sifat dan kemampuan sang ayah
Karena itu, saat anaknya lahir pada 16 Februari 1979 di Tavullia, Urbino, buah cintanya langsung diberi nama Valentino Rossi. Kecintaan Rossi akan dunia balapan mulai tumbuh ketika Rossi masih kecil. Kesukaan itu tumbuh karena sehari-hari Rossi banyak menghabiskan waktu bersama sang ayah. Secara tak langsung, sifat sang ayah diwariskan dalam diri Rossi.
Karenanya, Rossi tumbuh sebagai pribadi berkharisma, senang dengan tantangan, santai, dan nyentrik. Lebih lagi, sang ayah ingin meneruskan mimpi dan cita-citanya yang belum tercapai kepada Rossi: menjadi juara dunia balap motor. Namun, cita-cita itu dianggap berlebihan oleh ibu Rossi, Stefania. Ia lebih rasional. Stefania berharap Rossi tumbuh seperti anak-anak lainnya yang bercita-cita umum, selain pembalap.
“Inilah karakter Graziano yang memandu Valentino Rossi muda melewati masa kecilnya. Dan, dengan melihat dari belakang, Rossi harus berurusan dengan dua pandangan orang tua yang berbeda. Meskipun Graziano adalah kaum hippie eksentrik, mimpi ibunya untuk membentuk Rossi jauh lebih rasional dan normal.
“Umumnya mimpi Stefania dianggap lebih terhormat dan masuk akal. Stefania yang berkerja sebagai surveyor untuk dewan perwakilan rakyat setempat berharap putranya akan tumbuh menjadi insinyur atau arsitek, keduanya profesi yang kala itu sangat dihormati di Italia, seperti di tempat-tempat lain,” ungkap Stuart Barker dalam buku Valentino Rossi: The Definitive Biography (2020).
Perbedaan itu bukan membuat Rossi kecil bimbang. Pribadi Rossi yang menyenangi tantangan akhirnya memutuskan untuk memilih jadi pembalap. Menurutnya, itu merupakan opsi yang paling masuk akal. Ia pun bekerja keras untuk menjadi pembalap kelas dunia, sekalipun masih berada di bangku sekolahan. Saking cintanya dengan dunia balapan, Rossi tak penah menyukai aktivitas belajar di sekolah. Dalam pandangannya, pendidikan dan Rossi tak akan berjalan selaras.
Baca kisah Rossi selengkapnya di VOI, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!